BATAMTODAY.COM, Batam - Ratusan warga Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, menggelar dzikir dan doa bersama untuk keselamatan kampung mereka pada Minggu (13/8/2023) pagi.
Dzikir dan doa bersama ini mereka lakukan karena ada rencana pembangunan kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata di atas lahan seluas kurang lebih 17.000 hektare yang akan menyingkirkan tempat tinggal, perkebunan dan tanah ulayat warga Pulau Rempang.
Warga yang bermukim di atas lahan yang akan dikembangkan itu sekitar 4.000 KK atau 10.000 jiwa, dengan tegas menolak rencana relokasi dari pemerintah.
Dalam dzikir dan doa keselamatan tersebut ada insiden yang memiriskan hati masyarakat di sana. Di mana, Gerisman Ahmad, tetua yang dituakan tiba-tiba akan ditangkap dan dibawa sekelompok orang yang mengaku dari Polda Kepri.
Masyarakat setempat pun melakukan perlawanan dan menolak tetua mereka tersebut dibawa, sebab tidak ada surat penangkapan dari pihak kepolisian. Tak hanya Gerisman Ahmad, tetapi dua warga lainnya, Hengki dan Roni, juga hendak dibawa aparat berpakaian preman itu.
"Kami tak kasih karena tak ada surat perintah penangkapan. Warga menentang," kata Juliadi, salah seorang warga yang ikut dalam dzikir dan doa keselamatan itu.
Upaya penangkapan tokoh masyarakat Pulau rempang ini pun sampai ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, dalam siaran persnya juga menyayangkan rencana penjemputan paksa warga yang memperjuangkan kampungnya.
Atas peristiwa tersebut, WALHI menyatakan tindakan anggota Polda Kepri yang ingin menjemput paksa warga di Rempang-Galang tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan atau surat-surat lain menurut hukum adalah tindakannya sewenang-wenang dan melawan hukum.
"Kami juga menilai bahwa tuduhan-tuduhan pidana berlapis terhadap warga hanyalah mencari-cari kesalahan karena berhubungan dengan penolakan warga atas rencana proyek pembangunan kawasan Pulau Rempang yang dikelola menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata," ungkapnya.
"Jelas sekali, bahwa ini adalah upaya intimidasi hukum dan kriminalisasi terhadap warga negara yang memperjuangkan hak hidup dan mengembangkan diri secara kolektif yang dilindungi oleh konstitusi Pasal 28C UUD 1945," pungkas Juliadi.
Atas kejadian ini, WALHI mengingatkan kepada Polri bahwa penegakan hukum dengan mencari-cari kesalahan warga negara merupakan fiktif trial (peradilan fiktif/sesat) dan hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, berupa: bebas dari penangkapan sewenang-wenang, bebas dari perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, hak untuk diperlakukan secara manusiawi, perlakuan yang sama di depan hukum, pemeriksaan yang adil, hak untuk membela diri dan hak atas prinsip praduga tak bersalah (presumtion of innocence).
Editor: Gokli