BATAMTODAY.COM, Batam - Seorang pengusaha di Batam mengaku menjadi korban dugaan pemerasan dan penipuan oleh oknum Anggota DPRD Kota Batam berinisial MR. Kasus ini terkait kerja sama bisnis jual beli pasir hasil pendalaman alur laut di kawasan PT SMOE Indonesia, Nongsa, Batam.
Melalui kuasa hukumnya, Natalis N Zega, pengusaha tersebut mengungkapkan kerugian yang dialami kliennya mencapai Rp 1,4 miliar. Dugaan pemerasan ini bermula dari kerja sama yang dijalin antara kliennya dengan seseorang berinisial HA, yang mengelola hasil pasir seatrium dari proyek dredging tersebut.
"Karena HA tidak memiliki badan usaha, ia menyewa PT GT Solution untuk mengurus legalitas. Lalu disepakati bahwa HA harus menyetor uang muka Rp 1 miliar untuk operasional, namun kemudian HA menggandeng klien kami sebagai pemodal dengan pembagian hasil 50:50," ujar Natalis saat dikonfirmasi, Sabtu (26/4/2025).
Lanjutnya, dugaan penipuan, penggelapan dan pemerasan itu berawal dari sebuah kerja sama bisnis jual beli pasir seatrium hasil pendalaman alur laut di kawasan PT SMOE Indonesia, Kecamatan Nongsa.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2023, PT SMOE melakukan dredging pendalaman alur laut yang dilakukan oleh PT Mantara. Kebetulan hasil pendalaman alur laut ini menghasilkan pasir seatrium.
"Jadi, pasir ini hampir dua tahun tertumpuk di lokasi itu. Karena pemilik pasir itu bingung soal regulasinya, maka mereka bertemulah dengan seseorang berinisial HA," jelasnya.
Namun, saat proyek mulai berjalan, Natalis menjelaskan, pihak kawasan belum mengizinkan pengangkutan pasir sebelum pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sebesar Rp 230 juta dibayarkan. Setelah kewajiban tersebut dipenuhi, aktivitas pengangkutan berjalan normal, hingga akhirnya dihentikan oleh aparat Kepolisian dari Polresta Barelang dan Ditreskrimsus Polda Kepri.
Karena merasa terdesak, klien Natalis kemudian meminta bantuan MR untuk memfasilitasi pertemuan dengan Kapolresta Barelang, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu. Dalam proses tersebut, MR diduga meminta komisi sebesar Rp 50 ribu per meter kubik pasir yang diangkut serta saham 20 persen dari proyek.
Tidak berhenti di situ, kata Natalis, menjelang Lebaran 2025, MR kembali meminta uang tambahan sebesar Rp 500 juta, dengan dalih untuk keperluan koordinasi ke Polda Kepri dan Polresta Barelang. "Karena klien kami merasa ditekan, akhirnya hanya mampu menyerahkan Rp 350 juta," ungkap Natalis.
Lebih lanjut Natalis menyebut, dua hari setelah pembayaran, proyek kembali dihentikan tanpa alasan yang jelas. Belakangan diketahui, penghentian aktivitas ini terkait laporan dari pihak pemilik material pasir kepada Ketua DPRD Kepri, yang mengungkapkan adanya upaya pemotongan dana oleh MR.
Situasi tersebut membuat klien Natalis merasa dipermainkan. Ia menilai bahwa kerja sama yang dijalin awalnya berdasarkan kontrak resmi menjadi kacau karena intervensi dan permintaan tambahan dari MR.
"Seharusnya, pembagian saham diatur 60 persen untuk pihak pertama dan 40 persen untuk pihak kedua, sesuai akta notaris," katanya.
"Klien kami bersikeras tidak ingin memberikan uang itu, karena sudah ada perjanjian komisi Rp 50 ribu perkubik yang telah disepakati di awal. Karena dibawah tekanan, akhirnya klien kami hanya dapat menenuhi permintaan sebesar Rp 350 juta. Uang itu, juga sudah diterima langsung oleh oknum anggota DPRD Batam tersebut," bebernya.
Namun, selang dua hari setelah diberikan uang tunai, pekerjaan itu justru di hentikan oleh Polda Kepri tanpa diberikan alasan apapun. "Akhirnya, klien kita meminta pertanggungjawaban kepada HA selaku pihak pertama. Namun, HA tidak memberikan respon apapun. Sehingga, klien kami menanggung kerugian mencapai Rp 1,4 miliar," ungkap Natalis.
Belakangan diketahui, lanjut Natalis, alasan Polda Kepri menghentikan proyek tersebut karena adanya permintaan dari Ketua DPRD Kepri.
Ternyata, setelah ditelusuri kata Natalis, yang melapor kepada Ketua DPRD Kepri adalah pihak perantara pemilik material pasir. Alasan mereka melapor, lantaran ada bahasa oknum anggota DPRD Batam berinisial MR bahwa Dp sebesar Rp 1 miliar yang telah kita berikan kepada pemilik material pasir akan diambil oleh MR sebesar Rp 500 juta.
"Tak hanya itu, MR juga meminta di pembayaran kedua dan ketiga tidak ada lagi. Sehingga, membuat pemilik material pasir gerah dan melaporkannya ke Ketua DPRD Kepri," tuturnya.
Natalis mengungkapkan, sebagai pemodal, kliennya juga kembali menemui HA dan meminta untuk mengikuti perjanjian diawal. Bukan perjanjian saat bersama oknum anggota DPRD Batam berinisial MR.
"Karena klien kami menganggap bahwa oknum MR gagal dalam berkoordinasi. Sehingga klien kami menilai proyek tersebut akan dikuasai oleh mereka (pihak pertama) tanpa mengeluarkan modal sepeserpun," paparnya.
Saat ini, Natalis memastikan akan membawa persoalan ini ke jalur hukum, termasuk melaporkan dugaan penipuan, penggelapan, dan pelanggaran etika ke Badan Kehormatan DPRD Batam. "Kami akan menuntut keadilan. Klien kami telah diperas, dijanjikan solusi, tetapi justru merugi," tegas Natalis.
Hingga berita ini dipublish, belum ada tanggapan resmi dari pihak MR maupun DPRD Kota Batam terkait dugaan tersebut.
Editor: Gokli