Oleh: Linayati Lestari
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Sebuah momentum yang bukan sekadar mengenang sosok perempuan dari Jepara, tetapi juga merayakan semangat emansipasi, keberanian, dan pemikiran maju dalam menuntut keadilan serta kesetaraan. Raden Ajeng Kartini mungkin hidup di era feodalisme kolonial, namun nilai-nilai yang ia perjuangkan terus bergema hingga kini, khususnya dalam konteks politik Indonesia modern.
Kartini bukanlah politisi dalam arti formal. Ia tidak duduk di parlemen, tidak memimpin organisasi politik, dan tidak membuat undang-undang. Namun, ide-idenya tentang pendidikan, kesetaraan, serta peran perempuan dalam masyarakat merupakan bentuk politik moral yang membangun fondasi bagi partisipasi aktif perempuan di ranah publik. Dalam surat-suratnya yang kemudian dihimpun dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", Kartini dengan lugas mengkritik ketimpangan sosial dan budaya patriarki yang menghambat kemajuan bangsa. Gagasan-gagasan inilah yang kini menjadi inspirasi bagi perjuangan perempuan dalam dunia politik.
Dalam sistem demokrasi modern, kehadiran perempuan dalam politik bukan hanya soal representasi simbolik, tetapi juga substantif. Undang-undang Pemilu Indonesia telah menetapkan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan di legislatif. Hal ini menjadi salah satu upaya negara untuk menciptakan keadilan gender dalam pengambilan keputusan politik. Namun, tantangan besar masih membayangi seperti diskriminasi, politik uang, dan budaya patriarkal masih menghambat partisipasi perempuan secara setara.
Semangat Kartini menemukan relevansinya dalam upaya melawan tantangan tersebut. Pendidikan politik bagi perempuan, penguatan literasi digital, dan keberanian menyuarakan isuisu keadilan sosial adalah bentuk nyata dari perjuangan Kartini masa kini. Kita menyaksikan figurfigur nasional, lokal, hingga aktivis muda yang tampil di media sosial, sebagai representasi kontemporer dari cita-cita Kartini. Mereka adalah perempuan yang berani mengambil peran strategis dalam menentukan arah bangsa. Lebih jauh, politik masa kini juga memerlukan pendekatan yang lebih etis, humanis, dan berbasis nilai. Kartini telah mencontohkan bahwa perubahan tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan, tetapi melalui gagasan, dialog, dan keteladanan moral. Di tengah kondisi politik yang sering tercemar oleh kepentingan sesaat, hoaks, dan ujaran kebencian, nilai-nilai yang dihidupi Kartini sangat relevan untuk membangun peradaban politik yang lebih bermartabat.
Hari Kartini bukan hanya tentang mengenakan kebaya atau mengadakan lomba bertema perempuan. Ia adalah ajakan untuk merefleksikan kembali komitmen kita terhadap kesetaraan, keadilan, dan demokrasi. Perempuan bukan pelengkap dalam politik, tetapi subjek utama yang mampu membawa perubahan. Mahasiswa, sebagai calon pemimpin masa depan, harus meneladani semangat Kartini dalam berpikir kritis, bertindak etis, dan berani memperjuangkan kebenaran. Kartini telah menyalakan obor kesadaran. Kini tugas kita untuk menjaga agar cahaya itu terus menyinari jalan perubahan, termasuk dalam arena politik yang jujur, adil, dan inklusif. Habis gelap terbitlah terang, dari ketidakadilan menuju harapan yang lebih terang bagi perempuan dan bangsa Indonesia.
Penulis adalah Akademisi dari Universitas Riau Kepulauan