BATAMTODAY.COM, Batam - Pengadilan Negeri (PN) Batam kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan pembalakan liar (ilegal logging) di Pulau Rempang pada Selasa (11/2/2025).
Dalam sidang ini, sejumlah saksi memberikan keterangan yang mengungkap keterlibatan enam terdakwa dalam aktivitas penebangan liar yang merusak kawasan hutan konservasi.
Sidang yang terdaftar dengan nomor perkara 34/Pid.Sus-LH/2025/PN BTM ini dipimpin majelis hakim yang diketuai Tiwik, dengan didampingi dua hakim anggota, Dauglas Napitupulu dan Fery Irawan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat saksi, yakni Daniel, Ridwan, Mateus, dan Lukas, guna memperkuat bukti atas dakwaan yang disampaikan.
Saksi Ungkap Modus Operandi Pembalakan Liar
Dalam persidangan, saksi Daniel, yang bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, mengungkap penebangan liar terjadi pada September 2024 di wilayah Sungai Raya, Pulau Rempang. Ia menyebut kayu yang ditebang berasal dari kawasan konservasi yang berada di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Saya melihat ada aktivitas pengangkutan kayu di sana dan menanyakan kepada Lukas apakah sudah memiliki izin. Namun, Lukas mengaku tidak memiliki izin resmi," ujar Daniel, dalam persidangan.
Daniel kemudian melaporkan temuan tersebut ke Polresta Barelang dan mendatangi gudang milik salah satu terdakwa, Sastro Andrico alias Riko, di kawasan Dapur 12, Sagulung, Batam. Ia menemukan kayu-kayu yang diduga hasil pembalakan liar telah ditampung di gudang tersebut sebelum dijual ke konsumen.
"Kasus ini melibatkan enam terdakwa dengan peran yang berbeda, mulai dari pemilik gudang, jasa angkut, hingga eksekutor di lapangan," tegas Daniel.
Pengakuan Para Terdakwa
Dalam sidang, Lukas, salah satu terdakwa yang bertugas mengangkut kayu dari hutan ke gudang Riko, mengakui bahwa kayu tersebut berasal dari pesanan seorang oknum aparatur sipil negara (ASN). "Saya hanya bertugas mengantar kayu sesuai pesanan Pak Riko. Saya tidak tahu detail lebih lanjut," ujar Lukas.
Ia juga menyebut bahwa proses pengangkutan kayu ini melibatkan Suhendrik, sopir truk yang mengirim kayu ke gudang. Untuk setiap perjalanan, Lukas menerima upah sekitar Rp 1,9 juta hingga Rp 2,1 juta, tergantung ukuran kayu yang diangkut.
Sementara itu, saksi Mateus, yang juga berstatus sebagai terdakwa, mengungkap bahwa ia hanya bekerja sebagai pengangkut kayu dari hutan ke truk dengan bayaran Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per sekali angkut. Ia menyebut terdakwa Kamilus bertugas sebagai penebang kayu di lokasi.
"Saya hanya mengangkut kayu ke lori dan tidak tahu menahu soal izin atau tujuan akhirnya," ujar Mateus.
Daniel menekankan praktik ilegal logging ini sangat merusak lingkungan, terutama karena pohon yang ditebang merupakan kayu keras berusia lebih dari 20 tahun. "Jika dibiarkan, hutan akan semakin rusak dan ekosistemnya terganggu. Pihak berwenang harus menindak tegas pelaku agar kasus serupa tidak terulang," tegasnya.
Sidang kasus ini akan berlanjut pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.
Editor: Gokli