BATAMTODAY.COM, Jakarta - Perwakilan kelompok Masyarakat Adat Melayu Kepulauan Riau (Kepri) memenuhi undangan Komisi VI DPR RI untuk rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025).
Masyarakat Adat Melayu Kepri yang hadir pada RDPU terdiri dari Ketua Saudagar Rumpun Melayu sekaligus Direktur Umum Hotel Purajaya Batam Datuk Megat Rury Afriansyah, perwakilan dari Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Datuk Wira Maskur Tilawahyu, dan Said Andy sebagai tokoh adat Melayu asal Rempang.
Dalam kesempatan itu, Daruk Megat Rury menyampaikan bahwa pihaknya menuntut keadilan atas tindakan BP Batam yang telah merobohkan Hotel Purajaya Batam, salah satu hotel yang pertama kali berdiri di Batam dan hotel yang menjadi saksi sejarah berdirinya Provinsi Kepri.
Purajaya menjadi simbol warga Melayu, selain sejarah faktor desain yang khas Melayu juga sangat melekat pada hotel tersebut.
Rury mengungkapkan kepada Komisi VI DPR RI, Hotel Purajaya Batam dibongkar tepat saat proses hukum berjalan. Bahkan dibongkar tanpa surat dari pengadilan.
Pasalnya sebelum pembongkaran beberapa kali pihaknya diminta BP Batam presentasi terkait rencana perpanjangan pengeolaan lahan sebesar 30 hektar.
"Bagaimana sebuah alokasi lahan yang matinya pada 17 Juni 2023 tapi dicabutnya pada 11 Mei 2020 dengan alasan business plannya tidak menarik? Ini jelas tindakan zalim BP Batam terhadap kami warga Melayu yang sudah lama menetap di Batam," ujar Rury di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
Rury pun mengungkapkan, pihaknya sempat bertemu pimpinan BP Batam tiga kali usai memenangkan gugatan PTUN di Tanjung Pinang pada 2020.
Saat itu, kata Rury, pihaknya sudah bisa membayar denda yang diwajibkan untuk melanjutkan pengelolaan lahan dimana berdiri Hotel Purajaya Batam. Namun permintaan untuk mengeluarkan faktur pembayaran tidak digubris BP Batam.
Rury mengatakan, masyarakat Melayu hanya menuntut keadilan kepada BP Batam atas perobohan Hotel Purajaya Batam tersebut.
Sebab, kata Rury, gedung tersebut penuh sejarah bagi masyarakat adat Melayu, terutama gedung tersebut dibangun dengan penuh tekstur Melayu.
"Kalau ingin mengembalikan, tolong, kembalikan hotel dengan bangunan khas Melayu itu, seutuhnya. Kami warga Melayu juga adalah bagian dari NKRI san kami ingin diberikan keadilan oleh negara," kata Rury.
Hadir banyak tokoh Melayu dalam RDP bersama Komisi VI kali ini, mereka berharap ada keadilan untuk masyarakat Melayu terkait usaha melawan mafia lahan di Batam ini.
Sehubungan dengan itu, Wakil Ketua Komisi VI Fraksi Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, pihaknya akan mendalami permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat Melayu dan Rury.
Nurdin mengatakan, Komisi VI akan terus mengawal perkembangan kasus yang melibatkan BP Batam ini, karena BP Batam adalah mitra dari Komisi VI.
"Kita akan kaji yang berkaitan dengan kebijakan, keputusan BP Batam berdasarkan peraturan perundangan dan peraturan lainnya, oleh karena itu Komisi VI insya Allah akan mengkaji apakah keputusan pencabutan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Nurdin Halid.
Ia pun menambahkan, Komisi VI juga akan memanggil BP Batam serta tujuh perusahaan lainnya yang mengalami hal seperti Purajaya Hotel Batam.
"Yang kedua adalah mengevaluasi kebijakan daripada pengelolaan lahan yang dilakukan oleh BP Batam, oleh karena itu Komisi 6 akan mengundang BP Batam untuk mengklarifikasi terhadap persoalan-persoalan ini. Jadi secara politis pasti kami akan perjuangkan hak-hak bapak," kata Nurdin.
"Dan juga, ada sudah sampai tujuh perusahaan yang telah menyampaikan kepada pimpinan berkaitan dengan hal-hal yang alokasi lahan yang sudah tumpang tindih. Nanti kami akan panggil BP Batam," pungkasnya.
Editor: Surya