BATAMTODAY.COM, Jakarta - Rencana investasi Apple dalam pembangunan pabrik produksi AirTag di Batam kembali menjadi sorotan. Meskipun Apple mengajukan proposal dengan nilai investasi sebesar USD 1 miliar, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengklarifikasi bahwa nilai riil investasi tersebut diperkirakan hanya USD 200 juta, berdasarkan perhitungan teknokratis.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menjelaskan perbedaan angka tersebut disebabkan oleh masuknya proyeksi nilai ekspor dan biaya pembelian bahan baku dalam penghitungan investasi oleh Apple.
"Nilai investasi diukur hanya dari capital expenditure (capex), yaitu pembelian lahan, bangunan, dan mesin/teknologi. Dengan memasukkan komponen lain seperti ekspor dan bahan baku, nilai investasi tampak melambung hingga USD 1 miliar, padahal riilnya hanya USD 200 juta," ujar Febri, dalam keterangan pers, demikian dikutip laman Kemenperin, Rabu (22/1/2025).
Pabrik yang dijadwalkan mulai beroperasi pada 2026 ini diproyeksikan dapat memenuhi 60 persen kebutuhan global AirTag dan menyerap sekitar 2.000 tenaga kerja. Namun, Kemenperin menegaskan bahwa jika Apple benar-benar menginvestasikan USD 1 miliar untuk capex, dampaknya terhadap serapan tenaga kerja dan perkembangan ekonomi Indonesia akan jauh lebih signifikan.
Sanksi atas Utang Investasi Apple
Selain polemik nilai investasi, Apple juga masih menghadapi persoalan komitmen investasi sebelumnya. Dalam periode 2020-2023, Apple belum sepenuhnya mematuhi Permenperin Nomor 29 Tahun 2017, yang memberikan fasilitas investasi bagi perusahaan untuk memasarkan produknya di Indonesia. Apple diakui masih memiliki utang investasi senilai USD 10 juta yang jatuh tempo pada Juni 2023.
Sebagai konsekuensi, Kemenperin menjatuhkan sanksi berupa penambahan modal investasi baru dalam proposal untuk periode 2024-2026. Febri menegaskan bahwa Kemenperin memilih sanksi yang paling ringan demi menjaga iklim bisnis yang kondusif. Namun, apabila Apple tetap tidak patuh, sanksi lebih berat, seperti pembekuan atau pencabutan sertifikat TKDN HKT, dapat diberlakukan.
Hingga kini, Apple belum merevisi proposal investasi terbarunya, sehingga Kemenperin belum dapat mengeluarkan sertifikat TKDN bagi produk-produk seperti iPhone 16 series. Akibatnya, Tanda Pengenal Produk (TPP) juga belum dapat diterbitkan, yang membuat produk Apple belum bisa dipasarkan di Indonesia.
Febri menyatakan Indonesia memiliki ekosistem bisnis yang mendukung pembangunan fasilitas teknologi tinggi. Faktor seperti kemampuan sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi informasi dan iklim bisnis yang kondusif menjadi keunggulan kompetitif.
"Apple memiliki kemampuan finansial dan jaringan global untuk membawa rantai pasok global mereka ke Indonesia. Tidak ada hambatan birokrasi atau regulasi yang menyulitkan investasi Apple di sini," ujar Febri.
Ia juga membantah klaim Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah menjadi penghalang investasi Apple. Menurut Febri, SDM Indonesia, terutama lulusan perguruan tinggi di bidang teknologi informasi, memiliki kualitas yang memadai untuk mendukung operasional fasilitas produksi Apple.
"Dengan potensi yang dimiliki Indonesia, kami berharap Apple segera menyelesaikan komitmen investasinya agar manfaat ekonomi, termasuk penyerapan tenaga kerja dan transfer teknologi, dapat segera dirasakan," pungkas Febri.
Meski ada tantangan, rencana investasi Apple di Batam tetap menjadi peluang besar untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai hub manufaktur teknologi di kawasan Asia Tenggara. Dengan penyelesaian proposal yang lebih transparan dan komitmen investasi yang kuat, keberadaan Apple di Indonesia dapat membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan pengembangan teknologi tinggi di Tanah Air.
Editor: Gokli