Oleh: Bambang Soesatyo)*
TUJUAN utama dari gagasan mengoreksi pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung adalah bagian dari upaya menghadirkan tata kelola pemerintahan daerah yang bersih, efisien dan efektif, demokratis serta profesional. Sudah terbukti bahwa praktik Pilkada langsung yang berbiaya sangat mahal selama ini hanya menghasilkan administrasi pemerintahan yang koruptif.
Pilkada langsung sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat adalah kehendak bersama yang mengemuka dari euphoria reformasi. Kehendak bersama itu kemudian dituangkan dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat 4, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dan, Pilkada demokratis yang merefleksikan kedaulatan rakyat kemudian ditetapkan melalui UU No.8 tahun 2015. Ketika Pilkada langsung bisa terwujud dan terlaksana, semua elemen masyarakat menyambut positif, utamanya karena setiap individu yang punya hak pilih bisa memilih figur kepala daerah-wakil kepala daerah.
Selain nuansa demokratis yang menjadi kenyataan, begitu besar dan beragam harapan masyarakat dari administrasi pemerintahan daerah yang lahir dari Pilkada langsung. Sayang, seiring berjalannya waktu, praktik Pilkada langsung justru mulai mereduksi nilai-nilai demokratis itu sendiri. Menunggangi minimnya literasi publik tentang urgensi kompetensi calon pemimpin publik, konstetan Pilkada langsung mempraktikan politik uang, yakni belanja dan beli suara calon pemilih.
Oleh alasan rumitnya mendekati dan membujuk puluhan ribu calon pemilih, kontestan mengambil jalan pintas dengan melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat lokal, termasuk pemuka agama. Kepada tokoh masyarakat lokal, si kontestan meminta agar sang tokoh menggunakan pengaruhnya meminta warga setempat memilihnya.
Dibalik kesepahaman itu, terselip saling pengertian bahwa imbauan sang tokoh dan suara warga setempat tidak gratis. Selain memanfaatkan pengaruh tokoh warga lokal, sang kontestan pun membentuk dan mengerahkan tim relawan untuk melakukan aksi yang hingga kini popular dengan ungkapan sebutan serangan fajar. Pada awal politik uang mulai dipraktikan, dikenal ungkapan ‘daerah dengan harga suara yang mahal’ dan ‘daerah dengan harga suara yang murah’.
Bagi kontestan Pilkada langsung, belanja suara adalah pengeluaran atau investasi. Untuk meraih jabatan gubernur, nilai belanjanya mencapai ratusan miliar rupiah. Sedangkan nilai belanja suara untuk meraih jabatan Bupati mencapai puluhan miliar. Maka, ketika menjadi pemimpin dalam adimintrasi pemerintahan daerah setempat, di benak sang pemimpin daerah bukan sekadar upaya balik modal. Harus dicari cara dan celah agar selama masa jabatannya diperoleh keuntungan besar. Keuntungan itu kemudian akan digunakan untuk kepentingan pemenangan sebagai calon petahana dalam Pilkada langsung berikutnya.
Dari modus Pilkada langsung seperti inilah lahir motif administrasi pemerintahan daerah yang koruptif. Sebagaimana diketahui bersama, tidak ada yang baru mengenai cerita tentang korupsi yang dilakukan aparatur pemerintah daerah, pemerintah kabupaten hingga korupsi dana desa oleh aparat pengurus desa. Cerita tentang korupsi aparatur Pemerintah daerah sudah lama menjadi obrolan warga di berbagai wilayah.
Fakta tentang kecenderungan ini kemudian terkonfirmasi oleh data resmi tentang pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi. Pada 2013 misalnya, mengutip data Kementerian Dalam Negeri, wakil Menteri Hukum dan HAM (saat itu) mengemukakan bahwa sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Angka rielnya, sedikitnya 291 kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dalam kasus korupsi.
Ternyata, fakta historis itu tak membuat jera banyak oknum kepala daerah. Saat ini, kecenderungan atau tren peningkatan korupsi di Indonesia sudah menjadi fakta terbantahkan. Dan, aktor utama korupsi adalah oknum di tubuh birokrasi pemerintahan pusat, pemerintah daerah hingga perangkat desa.
Sepanjang periode 2004-2024, KPK sudah menangani 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten/kota. Dari jumlah kasus itu, sebanyak 167 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Pelakunya adalah walikota dan wakilnya maupun bupati dan wakilnya. Tidak mengherankan jika Survei Penilaian Integritas (SPI) di banyak daerah juga masih rendah.
Masyarakat pun masih dihadapkan pada fakta yang menyedihkan, bahkan terkadang tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, sejumlah orang yang pernah terlibat dalam kasus korupsi justru diterima dan dinyatakan sah sebagai peserta Pilkada langsung 2024. Akibatnya, meminimalisir administrasi pemerintahan daerah yang koruptif tampaknya akan sulit dilakukan. Bulan November 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan temuan dan catatan mereka tentang peserta Pilkada yang terindikasi terlibat kasus korupsi.
Menurut ICW, setidaknya 138 orang peserta Pilkada 2024 diduga terlibat kasus korupsi. Dari jumlah itu, termasuk kandidat gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, serta bupati dan wakil bupati. Di antara 138 figur kandidat bermasalah itu, ada yang pernah berstatus tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor, dan orang-orang yang namanya pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi.
Dengan fakta dan kecenderungan seperti itu, manfaat atau nilai tambah Pilkada langsung untuk berbagai aspek kepentingan masyarakat setempat nyaris nihil. Tidak sedikit warga yang berkesimpulan bahwa Pilkada langsung tidak memberi manfaat signifikan bagi kepentingan dan kebutuhan dasar warga setempat. Kualitas layanan publik pun tak kunjung membaik.
Perhatian Pemerintah daerah pun terbilang sangat minim terhadap ragam masalah yang berkait langsung dengan kesejahteraan warga, terutama perlakuan terhadap warga miskin, stunting, hingga pendidikan anak dan remaja. Dalam tiga tahun terakhir ini saja, total dana transfer keuangan pemerintah pusat ke daerah sekitar Rp 2.300 triliun. Faktanya, angka kemiskinan di sejumlah daerah masih tetap tinggi. Stunting nyaris tidak ditangani. Anak-remaja yang putus sekolah dibiarkan.
Apakah Pilkada langsung dengan modus koruptif seperti sekarang ini akan terus dibiarkan? Selain koruptif dan minus etika, praktik Pilkada sekarang nyata-nyata memperlihatkan tindakan pembodohan masyarakat oleh kontestan yang melakukan politik uang.
Pilkada dengan modus koruptif, tanpa etika dan membodohi masyarakat adalah musuh demokrasi. Alasan untuk mengoreksi Pilkada langsung sudah lebih dari cukup. Demi kebaikan bersama dan demi masa depan generasi anak-cucu, masyarakat Indonesia seharusnya tidak boleh takut dan ragu untuk melakukan koreksi atas praktik Pilkada langsung yang sarat penyimpangan seperti sekarang ini.
Penulis adalah Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)