Oleh Dahlan Iskan
KENAPA para wanita yang terpilih jadi kepala daerah ini tidak hanya pintar tapi juga cantik?
Lihatlah juga Illiza. Dia baru terpilih sebagai wali kota Banda Aceh. Tidak hanya pintar dan cantik, juga seperti Sherly Laos di Maluku Utara: kaya.
Kami berdua kemarin ngilang sebentar dari forum seminar. Mojok ke sebuah kafe. Tengah hari.
Saya ingin tahu banyak tentang wanita ini. Tambah lama tambah terpesona. Illiza punya misi yang kuat untuk Kota Banda Aceh.
Nama lengkapnyi: Illiza Sa'aduddin Djamal. Dua kata terakhir adalah nama suaminyi. Sang suami seorang pengusaha. Kontraktor. Tapi demi menjaga reputasi istri, sang suami menutup perusahaan kontraktornya. Ia pindah ke bisnis yang tidak berhubungan dengan proyek pemerintah. Ke bisnis supermarket dan perhotelan.
Illiza memang keluarga politikus. Ayahnyi mantan anggota MPR. Karier politik Illiza dimulai dari menjadi anggota DPRD. Lalu jadi wakil wali kota Banda Aceh.
Di periode kedua, wali kotanya meninggal dunia. Illiza otomatis jadi wali kota.
Zaman dia jadi pimpinan daerah itulah Banda Aceh selalu mendapat Adipura. Bertahun-tahun. Berturut-turut. Laporan keuangannya pun selalu WTP.
Illiza maju lagi jadi calon wali kota incumbent: kalah! Dia dikalahkan oleh kampanye intensif fatwa ulama yang ada di pihak lawannyi: wanita tidak boleh jadi pemimpin.
Selesai kalah Pilkada, Illiza nyalon legislatif: terpilih. Jadilah Illiza anggota DPR pusat.
Di Pileg 2024 dia nyalon lagi: terpilih lagi. Tapi Illiza tidak bisa dilantik. Partainyi, PPP, tidak lolos ke Senayan. Kursinyi hilang begitu saja.
Gagal kembali ke Senayan, Illiza maju jadi calon wali kota. Dia ingin mengembalikan Adipura ke Banda Aceh. Kali ini dia 'dikepung' tiga pasangan. Illiza dapat lebih 40 persen suara. Sisanya dibagi tiga calon lainnya.
Tidak hanya Adipura yang ingin dia kembalikan. "Saya ingin Banda Aceh jadi contoh dunia," ujarnyi. Yakni jadi kota yang dikelola secara syariah tetap bisa mengejar modernitas.
"Hukum syariah jangan sampai membuat kota jadi kolot dan ketinggalan zaman," katanyi.
Illiza menamatkan SMA di Al Azhar Jakarta. Lalu kuliah ekonomi di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Punya ijazah S-1 ekonomi, dia kuliah lagi. S-1 lagi. Kali itu di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Dia ambil jurusan bahasa Arab.
Illiza pun menjadi wali kota yang bicara Inggrisnyi sama baiknya dengan bahasa Arabnyi. Maka di seminar internasional memperingati 20 tahun tsunami kemarin dia bergaul dengan pede di tengah tamu-tamu dari Turkiye, Maroko, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Illiza juga rendah hati. Dia mengaku sangat mengagumi wali kota Surabaya, Bu Risma. Dia tidak ingin kalah dengan Bu Risma. Dia tahu di mana letak keunggulan Bu Risma: ngotot, konsisten, dan fokus.
Dalam lima tahun ke depan, Illiza harus bisa mewujudkan semua itu di Banda Aceh. Dia tidak boleh lagi maju di Pilkada yang akan datang. Dia dianggap sudah dua periode menjabat wali kota.
"Saya akan banyak pasang kamera di tempat umum," katanyi. Terutama di lokasi yang biasa untuk pacaran. "Berduaan boleh tapi tidak boleh melebihi batas," katanyi.
Kamera adalah alat modern yang bisa menggantikan polisi syariah. Tidak perlu lagi ada polisi syariah yang sampai harus patroli.
Tiongkok pun mengandalkan kamera untuk mencegah segala macam tindak kriminalitas. Di sana, di satu kota sebesar Banda Aceh bisa dipasang satu juta kamera.
Illiza tidak risau dengan praktik hukum cambuk di Aceh. "Kami mengenakan hukuman cambuk bukan untuk menyakiti," ujar Illiza.
Di Singapura hukum cambuk sampai membuat yang dicambuk berdarah. Toh investor tetap datang ke Singapura. "Hukum cambuk di sini lebih sebagai pintu untuk membuat mereka bertobat," katanyi.
Illiza ingin sebelum hukuman cambuk dilaksanakan, harus ada tim pembina agar mereka tahu apa yang harus dilakukan setelah menjalani cambuk.
"Ada orang Tiongkok yang tertangkap membawa banyak minuman keras. Mereka justru minta dihukum cambuk saja. Jangan dimasukkan penjara," ujar Illiza tersenyum.
Hukum cambuk di Banda Aceh memang beda dengan di Singapura. "Rotan penyambuknya hanya ukuran garis tengah 1 cm," ujar Azwar Abubakar yang menyusul ke kafe.
Azwar adalah gubernur Aceh di saat terjadinya tsunami. Saat saya jadi sesuatu dulu, Azwar juga jadi menteri. Azwar lah yang merumuskan ukuran cambuk rotan itu. Juga yang merumuskan bagaimana cara mencambuknya: tangan si pencambuk harus dalam posisi lurus. Dengan demikian pukulannya tidak bisa keras.
Inti dari cambuk adalah hukuman sosial. Agar malu. Lalu bertobat. Karena itu hukuman cambuk dilakukan di tempat umum. Yakni di halaman masjid, usai salat Jumat.
Yang terkena hukum cambuk adalah perzinahan, pencurian, minuman keras. Setelah ditangkap mereka diperiksa. Begitu terbukti mereka boleh pulang -menunggu jadwal hukuman cambuk. Mereka tidak ditahan.
Saat ini belum tentu satu bulan ada satu kali. Paling satu tahun tiga atau empat kali. Dengan banyak kamera semua itu bisa dicegah. Tidak ada yang sampai mencuri atau berbuat mesum.
Illiza bukan wanita biasa. Dia akan bisa jadi malahayati masa kini. Gagasan modernitas tanpa meninggalkan syariah adalah misi besar perjuangannyi.
Saya pun bertanya: bagaimana dia bisa tampil begitu enerjetik, cekatan, dan trampil. Jawabnyi: mungkin karena banyak yang ingin saya lakukan untuk Banda Aceh!*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia