Oleh Entang Sastraatmadja
WALAUPUN belum diputuskan secara hitam putih, kemauan politik Presiden Prabowo untuk mengembalikan Bulog ke masa Orde Baru, dalam beberapa waktu belakangan, muncul menjadi berita yang cukup hangat.
Bukan kalangan Pemerintah, namun jajaran legislatif pun ikut memberikan komentarnya. Tak terkecuali. Ketua Komisi IV DPR RI-nya sendiri.
Mengembalikan peran dan fungsi Bulog menjadi lembaga otonom Pemerintah yang langsung di bawah Presiden, mestinya dilakukan sejak lama.
Mengapa setelah 21 tahun berjalan, kita baru sadar Bulog perlu dikembalikan kepada purwadaksi, sebagaimana semangat kelahirannya.
Bulog adalah lembaga parastatal yang peran utamanya menciptakan stabilitas dan harga pangan.
Kita sendiri tidak terlalu paham, apa yang membuat segenap komponen bangsa kala itu, seperti yang "kesirep" oleh kehadiran lembaga keuangan dunia sekelas IMF (International Monetary Fund).
IMF pun dianggap sebagai dewa penolong utama yang akan menyelamatkan perekonomian bangsa yang porak poranda karena terjadinya krisis multi-dimensi berkepanjangan.
Itu sebabnya ketika IMF meminta Pemerintah untuk merubah status Bulog dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), semua petinggi bangsa di negeri ini, tidak ada seorang pun yang berani menolaknya.
Semua seperti yang dicocok hidung. Bahkan Presiden Soeharto pun terpaksa menandatangani kesepakatan dengan Direktur IMF.
21 Januari 2003 adalah tanggal kelahiran Perum Bulog sebagai perusahaan pelat merah yang memiliki peran ganda dalam menggelindingkan roda perusahaannya.
Pertama, Perum Bulog dituntut untuk melakukan peran bisnis secara profesional sebagai perusahaan; dan kedua Perum Bulog diminta melaksanakan penugasan Pemerintah untuk menempuh peran sosialnya (social responsibility).
Sangat disayangkan, selama perkembangannya selama 21 tahun berlangsung, Perum Bulog belum mampu memberi karya gemilang bagi pengembangan peran bisnisnya.
Gambarannya, sebagai lembaga pangan tingkat nasional, Perum Bulog belum mampu menampilkan diri selaku "raksasa bisnis pangan" yang keberadaannya disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Justru yang lebih menonjol adalah peran Perum Bulog dalam melakukan penugasan Pemerintah. Salah satu contoh nyata, Perum Bulog diminta untuk menyalurkan program bantuan langsung beras kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat.
Dengan sigap, Perum Bulog mampu melakukan peran dalam hal menyalurkan beras sebesar 10 kg per bulan selama kurun waktu 12 bulan.
Tidak hanya itu. Penugasan lain dari Pemerintah yang diberikan kepada Perum Bulog adalah menyelenggarakan impor beras dari berbagai negara sahabat.
Untuk tahun ini misalnya, Perum Bulog diminta untuk menyiapkan pelaksanaan impor beras sebesar 5 juta ton. Tanpa kepiawaian dan profesional sumber daya manusia yang dimiliki Perum Bulog, omong kosong penugasan ini akan berjalan dengan baik.
Di sisi lain, pada zamannya, Bulog dikenali sebagai sahabat sejati petani. Bulog selalu mendengar dengan baik jeritan petani. Apa yang jadi kerisauan petani, selalu menjadi kerisauan Bulog.
Semua ini wajar terjadi karena Bulog dan petani, memiliki ikatan kebatinan yang kuat dalam menyongsong masa depan yang lebih cerah (means the future happiness).
Pertanyaannya adalah apakah sekarang Bulog masih pantas disebut sebagai sahabat sejati para petani? Apakah saat ini, mereka yang diberi kehormatan dan tanggung jawab mengelola Bulog masih memiliki hasrat untuk melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani? Atau tidak, dimana mereka lebih menghamba kepada orang yang "menguasai"nya?
Jawaban jujur inilah sebetulnya yang kita butuhkan. Menjadi "pengelola" Bulog harus selalu dilandasi oleh spirit untuk melindungi dan membela petani.
Jangan jadikan Bulog sebagai jenjang untuk mengejar syahwat kekuasaan seseorang. Mengelola Bulog berbeda dengan mengelola lembaga negara lain. Sebab, garapan Bulog, lebih berkaitan dengan tersambung atau tidaknya nyawa kehidupan warga bangsa.
Satu kata kunci agar Bulog dapat menjadi sahabat sejati petani adalah adanya keberpihakan nyata Bulog terhadap petani. Persahabatan ini ditandai dengan tidak adanya kebijakan yang terkesan memarginalkan petani dalam mengarungi kehidupannya.
Kebijakan Bulog selalu pro petani dan mampu mengkomunikasikannya dengan pihak yang mengatur kebijakan pangan di negeri ini.
Namun begitu, penting untuk direnungkan, apakah persahabatan Perum Bulog dengan para petani, kini semakin berkurang kekentalan nya. Langkah Perum Bulog untuk merangkul petani semakin jarang terjadi.
Kita sendiri tidak tahu persis, mengapa hal seperti ini dapat terjadi. Persahabatan Bulog dengan petani tetap harus dijaga dan dipelihara, bahkan mesti dilestarikan.
Kini, pokok masalahnya sudah sedikit tergambarkan dengan jelas. Perkembangan persahabatan Perum Bulog dengan petani, sudah tidak sehangat di masa lampau.
Masing-masing pihak tampak sibuk dengan urusan dan kegiatannya. Harapan ke depan, semoga ada cara untuk mengeratkan persahabatan mereka secara lebih nyata.*
Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat