BATAMTODAY.COM, Jakarta - Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR mendorong komitmen global untuk pendanaan iklim yang lebih adil dan inovatif untuk mengatasi perubahan iklim.
Wakil Ketua BKSAP DPR Ravindra Airlangga mengatakan hal itu penting untuk mempercepat transisi keberlanjutan dan melindungi negara berkembang dari dampak buruk perubahan iklim.
"Pendekatan inovatif diharapkan dapat mempercepat transisi menuju keberlanjutan dan melindungi negara berkembang dari dampak terburuk perubahan iklim. Tanggung jawab bersama harus dibarengi dengan kontribusi yang proporsional," ujar Ravindra saat Parliamentary Meeting on 29th United Nations Climate Cange Conference COP29 di Baku, Azerbaijan, Sabtu (16/11/2024).
Ravindra mengingatkan negara-negara berkembang cenderung menjadi yang paling merasakan dampak negatif dari perubahan iklim. Padahal, menurut politisi Golkar ini, dari segi kontribusi tercatat 79% dari emisi CO2 secara historis berasal dari segelintir negara-negara maju.
"Senada dengan perwakilan parlemen Inggris, kami berkomitmen pendanaan iklim dari negara-negara maju yang dinaungi The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ini menjadi suatu hal yang penting untuk digaungkan dan dilaksanakan," tandas dia.
Pada sisi lain, Ravindra menyebutkan menurut Postdam Institute of Climate Change, kerugian per tahun yang disebabkan oleh perubahan iklim mencapai hampir setengah dari PDB Dunia pada 2050. Indonesia pada 2021 berdasarkan Global Climate Atlas berkontribusi 1,7% dari total emisi.
"Namun demikian, Indonesia di COP29 berkomitmen dengan Nationally Determined Contribution, yakni untuk mengurangi emisi sebesar 31,89% dengan swadaya dan penurunan sebesar 43,2% dengan bantuan pendanaan internasional," jelas Ravindra.
Ravindra mengungkapkan bahwa bantuan pendanaan perubahan iklim yang dicanangkan pada New Collective Quantified Goal yang akan datang harus lebih merefleksikan 'true cost' untuk mitigasi dan adaptasi dari perubahan iklim dunia.
"Kami ingatkan pula agar instrumen-instrumen keuangan inovatif harus dipersiapkan seperti climate resilient debt clause, loss and damage fund, carbon credit financing dan bagaimana cara agar sektor swasta memiliki insentif untuk membantu mitigasi iklim. Begitu juga ekosistem sebagai sebuah layanan atau cosystem as a service, juga harus diperhatikan dan pasar global atas hal tersebut harus dikembangkan," pungkas Ravindra.
Editor: Surya