BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota majelis hakim sidang kasus kopi beracun, Binsar Gultom menyebut, tangisan terdakwa Jessica Kumala Wongso saat membacakan pledoi, hanya sandiwara. Hal ini lantaran majelis hakim tak melihat sedikit pun Jessica meneteskan air mata.
"Majelis hakim menilai itu tidak tulus, hanya sandiwara. Sebab selama pembacaan pleidoi tidak sedikit pun terdakwa meneteskan air mata dan mengeluarkan cairan dari hidung," ujar hakim Binsar saat membacakan materi putusan, Kamis (27/10).
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 20 tahun penjara bagi terdakwa Jessica. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menolak semua pledoi atau nota pembelaan Jessica dan tim kuasa hukum yang dibacakan pada persidangan Oktober lalu.
Majelis hakim menganggap Jessica, dalam pembelaannya, hanya mengungkapkan perasaan dan tak menyentuh langsung pokok perkara. Jessica juga dianggap selalu berbohong selama persidangan. Namun, keterangan itu tak menjadi masalah bagi majelis hakim.
Dalam pertimbangan majelis hakim, keterangan terdakwa sebagai alat bukti bisa dikesampingkan karena hanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Sementara sejumlah alat bukti lain berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk memiliki nilai lebih tinggi dari keterangan terdakwa.
"Oleh karena itu majelis hakim selalu mengingatkan agar terdakwa jujur dan tidak berkata bohong selama proses persidangan," ujar Binsar.
Binsar mengatakan, majelis hakim tetap yakin Jessica adalah pelaku yang memasukkan racun dalam gelas kopi Mirna. Jessica dianggap memiliki akses paling lama pada kopi tersebut, sehingga dia dianggap paling mengetahui apa yang terjadi pada minumannya.
"Sesuai keyakinan majelis hakim, terdakwa mengetahui siapa yang menggeser-geser gelas kopi. Hingga lalat yang masuk ke gelas kopi pun terdakwa mengetahui," ucapnya.
Bukti Perkara Jessica Serupa dengan Kasus Munir
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggunakan bukti tak langsung atau circumstance evidence dalam memutus perkara Jessica Kumala Wongso. Dalam pertimbangannya, majelis hakim tak mempermasalahkan ketiadaan saksi yang melihat Jessica memasukkan racun sianida ke dalam minuman Wayan Mirna Salihin.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana mengatakan, banyak kejahatan yang dilakukan tanpa adanya saksi yang melihat. Secara teori, tak ada penjahat yang mau aksinya terlihat orang lain.
Salah satu perkara serupa yang menggunakan bukti tak langsung, kata Ganjar, adalah kasus Munir. Aktivis itu tewas diracun dalam pesawat dari Indonesia menuju Belanda. Majelis hakim akhirnya menjatuhkan hukuman pada kru pesawat, Pollycarpus.
"Kasus Munir itu apa ada saksi yang melihat saat pelakunya memasukkan racun? Tidak ada juga kan," ujar Ganjar saat dihubungi, Jumat (28/10).
Meski demikian, untuk membuktikan suatu perkara bukan masalah bukti langsung atau tak langsung. Menurut Ganjar, yang lebih penting adalah kriteria alat bukti yang digunakan untuk memutus perkara.
Ganjar menyebutkan, sesuai ketentuan dalam KUHP ada lima alat bukti yang dapat digunakan yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Menurutnya, majelis hakim mesti menjabarkan alat bukti mana saja yang termasuk dalam bukti tak langsung. Sehingga alasan itu yang kemudian digunakan majelis hakim sebagai pertimbangan untuk memutus perkara.
Sejumlah saksi fakta yang dihadirkan dalam persidangan, kata Ganjar, juga harus memiliki kriteria yang jelas. Selain pihak keluarga, saksi fakta juga berasal dari para pegawai di kafe Olivier. Dalam persidangan, tak ada satu pun pegawai kafe Olivier yang melihat Jessica memasukkan racun dalam minuman Mirna. Namun mereka mengetahui saat Jessica memesan minuman hingga kondisi Mirna yang kejang-kejang.
"Kalau itu dikategorikan sebagai saksi ya salah, karena tidak melihat langsung. Tapi dilihat lagi, keterangannya bernilai atau tidak," katanya.
Apabila dari keterangan saksi ini bisa membuat terang suatu perkara, maka majelis hakim mestinya merumuskan lebih detail keterangan itu sebagai salah satu alat bukti yang kuat.
Sebelumnya dalam pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak pada alat bukti tertentu. Hal ini berlaku dengan pengecualian alat bukti ini saling berkesesuaian.
Dalam konteks pembunuhan berencana, majelis hakim menjelaskan bahwa keterangan terdakwa nilainya lebih rendah dari alat bukti lain. Oleh karena itu meski terdakwa tak mengakui perbuatannya dan tak ada saksi yang melihat, majelis hakim tetap bisa menjatuhkan hukuman bagi terdakwa.
Sumber: CNN
Editor: Udin