Oleh Achmad Nur Hidayat
KENAIKAN tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi isu panas di kalangan masyarakat Indonesia. Petisi daring bertajuk "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan, mencerminkan keresahan yang meluas. Banyak pihak merasa bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN, menunda implementasinya, dan mencari alternatif kebijakan fiskal yang lebih inovatif tanpa membebani daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN di Tengah Pemulihan Ekonomi yang Rapuh
Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang diproyeksikan menambah sekitar Rp100 triliun per tahun dari sektor pajak konsumsi.
Namun, kenaikan ini diperkirakan dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5% pada tahun pertama implementasi, terutama berdampak pada harga kebutuhan pokok dan barang lainnya.
Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak pada pengeluaran lain untuk stimulus yang mungkin diperlukan guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat.
Dalam konteks stimulus, pemerintah telah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83 persen dari PDB.
Rincian paket ini mencakup 15 jenis insentif fiskal dan nonfiskal, termasuk pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan gula konsumsi;
PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen untuk barang kebutuhan pokok strategis seperti tepung terigu dan minyak goreng curah;
Bantuan pangan berupa 10 kilogram beras per bulan untuk 16 juta masyarakat di desil 1 dan 2;
Diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama Januari hingga Februari 2025; dan insentif untuk sektor usaha, termasuk PPh final UMKM 0,5 persen.
Paket ini dirancang untuk meredam tekanan inflasi akibat kenaikan PPN dan mendukung daya beli masyarakat yang rentan.
Namun, jika tidak ada kenaikan PPN, pengeluaran stimulus Rp445,5 triliun itu tidak diperlukan, sehingga efisiensi anggaran dan keberlanjutan APBN bisa tercapai lebih kuat.
Dalam konteks ini, kebijakan kenaikan PPN tampaknya kurang tepat dilakukan di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh.
Mengapa Tolak PPN Ini Penting
Petisi yang ditandatangani oleh ratusan ribu warga tidak hanya menjadi alat protes, tetapi juga representasi aspirasi publik yang mendesak.
Tingginya jumlah tanda tangan dalam bit.ly/pajakmencekik menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan PPN tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat.
Banyak warga merasa bahwa pemerintah cenderung memilih jalan yang "mudah" untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
Respon terhadap petisi ini dapat menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan kepekaan terhadap aspirasi masyarakat.
Sebagai pemerintah yang demokratis, mendengarkan suara rakyat adalah bagian integral dari tata kelola yang baik.
Kegagalan merespon secara tepat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Ada beberapa opsi lain daripada menaikan PPN 12 persen, hanya saja opsi ini membutuhkan kerja ekstra dari para policy makers dan ketekunan ekstra. Diantaranya adalah:
1. Optimalisasi Pajak Digital
Perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD 77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun.
Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5% dari total penerimaan pajak.
Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia.
Misalnya, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar.
Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai "Digital Services Tax" (DST).
Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik.
Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD 700 juta.
Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak.
Contohnya, Korea Selatan menggunakan integrasi data waktu nyata antara platform e-commerce dan otoritas pajak untuk memastikan semua transaksi tercatat secara akurat.
Model seperti ini dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan optimalisasi kebijakan pajak digital, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga menciptakan iklim persaingan yang lebih adil bagi pelaku usaha lokal dan global.
Langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi tradisional yang membebani masyarakat umum.
2. Reformasi Pajak Penghasilan (PPh) untuk Golongan Atas
Pemerintah dapat mengevaluasi ulang struktur Pajak Penghasilan (PPh) bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Pengenaan tarif yang lebih progresif pada kelompok super kaya akan menciptakan penerimaan tambahan tanpa berdampak langsung pada mayoritas masyarakat.
Perkenalan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap aset juga memberikan suasana pemerataan kepada mereka super kaya.
Pendekatan ini juga lebih adil karena mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi individu.
3. Perbaikan Tata Kelola Pemungutan PPN
Pemerintah harus fokus pada perbaikan tata kelola pemungutan PPN sebesar 11% yang sudah ada saat ini.
Dengan menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat sistem teknologi informasi perpajakan, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp50-75 triliun per tahun tanpa harus menaikkan tarif.
4. Evaluasi Paket Bebas Pajak untuk Investasi Pertambangan dan Hilirisasi
Kebijakan pembebasan pajak untuk sektor pertambangan dan hilirisasi perlu dievaluasi ulang. Peninjauan insentif yang kurang efektif dapat memberikan tambahan penerimaan hingga Rp30 triliun per tahun jika difokuskan pada investasi yang lebih produktif dan berkelanjutan.
5. Efisiensi Belanja Negara
Selain meningkatkan penerimaan, pemerintah perlu melakukan efisiensi pada belanja negara. Evaluasi terhadap program-program yang tidak produktif atau memiliki tingkat kebocoran tinggi harus menjadi prioritas.
Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan untuk menutupi kebutuhan anggaran tanpa harus membebani masyarakat.
6. Pengembangan Ekonomi Hijau
Investasi pada sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi dan insentif baru.
Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang adil, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong keberlanjutan lingkungan.
Catatan Penting
Petisi yang menolak kenaikan PPN adalah suara rakyat yang perlu didengarkan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk merespon dengan kebijakan yang lebih bijak dan kreatif.
Menunda kenaikan PPN dan mengeksplorasi alternatif lain yang lebih inovatif adalah langkah yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat kepercayaan publik.
Kebijakan fiskal yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya menghasilkan penerimaan negara, tetapi juga mendukung kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekonomi.
Dengan mendengarkan aspirasi masyarakat dan bertindak berdasarkan data serta analisis yang komprehensif, pemerintah dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta