BATAMTODAY.COM, Batam - Kementerian Kelautan dan Perikanan mengajak semua pihak untuk melihat lebih jauh mengenai substansi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut.
Kebijakan ini sejatinya bukan sebatas untuk mendukung pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, tapi juga mengamanatkan dilakukannya perlindungan dan rehabilitasi terhadap ekosistem dari hasil sedimentasi yang dikelola.
"Sejak PP ini diterbitkan, segala perdebatan yang kita terima ada tiga kekhawatiran di dalamnya, yaitu ekspor pasir laut, ancaman ekologi, dan ada siapa di balik kebijakan ini. Sebetulnya dari tiga isu itu kalau memang kita sudah membaca PP tersebut dari awal, manfaatnya apa pertimbangannya apa dan dasar-dasar kebijakannya apa sudah jelas. Ada tugas dan tanggung jawab KKP yang harus memelihara laut," ungkap Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Victor G Monoppo dalam diskusi tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang menjadi rangkaian peringatan Hari Laut Sedunia di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (8/6/2023).
Dalam Pasal 2 disebutkan, pengelolaan dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut. Kemudian untuk mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
"Jadi pemanfaatannya bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, tapi juga adanya perlindungan pada ekosistem dan amanat memanfaatkan hasil sedimentasi untuk rehabilitasi ekosistem di situ," tambah Victor.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady menjelaskan beberapa hal yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan kebijakan tata kelola sedimentasi di laut.
Mulai dari kewajiban negara memastikan lautnya sehat dan bersih untuk menjamin keberlanjutan ekologi, mendukung kepentingan nasional dan adanya mandat internasional tentang kesehatan laut, serta tidaknya adanya standarisasi reklamasi selama ini yang berimbas pada kerusakan ekosistem.
"Kita selama ini absennya standarisasi reklamasi. Batam ini paham sekali, bagaimana dikeruk bukit-bukit untuk reklamasi karena tidak ada supply (material). Saya sudah beberapa kali ke Busan, Korea, mereka sudah punya standarisasi reklamasi, material apa, ukuran apa, karena setiap bahan yang digunakan ada standarnya sendiri," beber Edy Putra.
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto mengatakan pihaknya sangat terbuka dengan masukan semua lapisan masyarakat mengenai PP 26/2023.
"Semuanya boleh bersuara menyatakan pendapatan tentang isu yang sedang hangat sekarang. Tapi saya harap tidak dilandasi dengan pikiran negatif lebih dulu. Karena pemerintah membuat kebijakan ini dengan niat baik menjaga laut tetap sehat," ungkapnya.
Doni mengajak semua pihak untuk melihat secara komprehensif isi peraturan tersebut bukan cuma dari sisi ekspor pasir. Pemerintah menata pengelolaan hasil sedimentasi di laut utamanya untuk kepentingan ekologi.
Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, sambungnya, selama ini juga sudah jelas menempatkan ekologi sebagai panglima dalam membangun tata kelola kelautan dan perikanan, termasuk soal pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
"Pesan pak menteri yang beliau sudah berulang kali mengatakan bahwa panglima beliau adalah ekologi. Dalam membuat kebijakan pasti yang didahulukan beliau adalah ekologi bukan ekonomi," tegasnya.
Hal senada disampaikan Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi Rasman Manafi. PP Nomor 26 tahun 2023 menurutnya lebih mengutamakan pengendalian dari ancaman kerusakan ekosistem dibanding pemanfaatan hasil sedimentasi untuk kepentingan ekonomi.
"Bahwa regulasi yang kita bicarakan bukan hanya pemanfaatan tapi juga kita bicara pelindungan dan pelestarian. Kita bicara saat ini sedimentasi. Sangat tidak benar kalau itu hanya soal pemanfataan," ujarnya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Sriwijaya Prof. Iskhaq Iskandar mengungkapkan pentingnya kajian matang dalam pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Kajian untuk menjamin pemanfaatan hasil sedimentasi tidak membawa dampak negatif pada lingkungan seperti terjadinya abrasi.
Selain kajian oleh pemerintah, pelaku usaha yang mengajukan izin pemanfaatan pun harus memiliki kajian. Dengan adanya kajian, sekaligus akan menjawab kekhawatiran publik mengenai potensi kerusakan ekosistem dari aktivitas pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
"Kami menyarankan bahwa aktivitas pemanfaatan sedimentasi laut ini perlu kajian sebelum dimanfaatkan. Kalau di bidang oseanografi sangat memungkinkan dilakukan permodelan pada saat kondisi sekarang seperti apa, kalau dimanfaatkan sedimentasinya apakah kondisinya hidro-oseanografinya berubah atau tidak. Sehingga pada saat pelaku usaha menyampaikan proposal pemanfaatan, dia harus membuat permodelannya dulu bagaimana," ujar Prof Iskhaq.
Anggota Asosiasi Pasir Laut Kepri, Iskandar Syah menilai terbitnya PP 26/2023 sebagai terobosan mengingat banyaknya kegiatan reklamasi di Indonesia. Dengan adanya regulasi ini, material yang dibutuhkan menjadi jelas sumbernya.
Dia berharap masyarakat melihat aturan tersebut secara menyeluruh, dan tidak memicu terjadinya benturan atas terbitnya PP sedimentasi. Sebab menurutnya di dalamnya mencakup aspek perlindungan ekosistem sekaligus mempertimbangkan manfaat ekonomi dari hasil sedimentasi yang ada.
"Ada sebuah terobosan oleh pemerintah, banyak yang mau kita reklamasi, sumbernya di mana? Di Kepri sendiri proyek reklamasi banyak, dan itu butuh dari mana (materialnya). Tinggal bagaimana kita menerangkan ini secara utuh ke masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, karena sekarang banyak orang mencoba bentur-benturkan padahal itu bisa beriringan," urai Iskandar.
Sebagai informasi, KKP mengelar diskusi tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dalam rangka memperingati tiga hari besar dalam kelautan, yakni Hari Laut Sedunia, Hari Internasional Memerangi Penangkapan Ikan Ilegal, dan Coral Triangle Day. Diskusi mengundang berbagai pihak mulai dari perwakilan pemerintah daerah, akademisi, lembaga lingkungan, hingga asosiasi.
Editor: Yudha