BATAMTODAY.COM, Jakarta - Teknologi Artificial Intelligence (AI) semakin menunjukkan potensinya dalam mendukung dunia medis, terutama dalam meningkatkan akurasi dan efisiensi diagnostik.
Melalui penelitian yang telah dipublikasikan, AI mampu mengidentifikasi penyakit berdasarkan gejala secara cepat, memberikan perspektif baru tentang integrasi teknologi ini ke dalam praktik kesehatan di masa depan.
Namun, di tengah manfaatnya, Chief of Technology Transformation Office (TTO) Kementerian Kesehatan RI, Setiaji, menekankan bahwa penerapan AI harus tetap mengutamakan keselamatan pasien. "Dokter tetap menjadi pengambil keputusan utama, dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan etika medis. AI berfungsi sebagai alat bantu yang memberikan rekomendasi diagnosis, bukan sebagai pengganti peran dokter," jelas Setiaji, demikan dikutip laman Kemenkes, Senin (30/12/2024).
Ia menambahkan integrasi AI dalam praktik klinis harus dilakukan secara hati-hati, memastikan teknologi ini mendukung dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih cepat dan akurat, tanpa mengesampingkan pentingnya keahlian manusia.
Etika dan Kualitas dalam Penggunaan AI
Setiaji menjelaskan pentingnya evaluasi kritis terhadap penelitian terkait AI dalam dunia medis, khususnya dalam konteks Indonesia. "Metodologi penelitian AI harus ditelaah, termasuk jenis data yang digunakan dan apakah sampel penelitian merepresentasikan populasi secara umum. Hasil penelitian di lingkungan terkontrol sering kali tidak mencerminkan kompleksitas kasus yang dihadapi dalam praktik klinis di Indonesia," ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa AI, meskipun memiliki kemampuan analisis data yang canggih, belum mampu menggantikan evaluasi medis komprehensif yang melibatkan interaksi langsung antara dokter dan pasien. Faktor-faktor seperti riwayat kesehatan, kondisi lingkungan, dan gaya hidup tetap membutuhkan penilaian manusia yang mendalam.
AI Sebagai Informasi Awal, Bukan Pengganti Dokter
Setiaji mengingatkan bahwa meskipun AI seperti ChatGPT dapat memberikan panduan awal terkait kesehatan, teknologi ini tidak dapat menggantikan keahlian dokter. AI bekerja dengan mengolah data yang tersedia, namun tidak selalu dapat menganalisis kondisi spesifik setiap individu.
"Diagnosis dan pengobatan yang akurat sering kali memerlukan pemeriksaan fisik, tes laboratorium, hingga prosedur diagnostik lanjutan yang hanya dapat dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan," tegasnya.
Masyarakat disarankan untuk menggunakan AI sebagai sumber informasi awal saja. Selanjutnya, konsultasi dengan dokter atau tenaga medis tetap diperlukan untuk memperoleh penilaian kesehatan yang komprehensif serta perawatan yang sesuai.
Setiaji optimis bahwa dengan integrasi yang tepat, AI dapat menjadi pendukung utama dalam dunia kesehatan, membantu dokter meningkatkan kualitas pelayanan. Namun, ia menegaskan kembali bahwa teknologi ini harus diimplementasikan dengan memprioritaskan keselamatan, etika, dan keahlian manusia sebagai pondasi utamanya.
Dengan langkah ini, pemanfaatan AI diharapkan dapat membawa transformasi positif bagi sistem kesehatan Indonesia, tanpa menghilangkan sentuhan kemanusiaan yang menjadi inti dari praktik medis.
Editor: Gokli