BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kerja melawan terorisme dan radikalisme di Indonesia masuk jauh untuk disebut usai. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dan semua stakeholder, belum bisa benar-benar tidur pulas. Apalagi, setelah kelompok Hayat Tahrir al Sham (HTS) yang pernah bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) berhasil menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Bukan tidak mungkin keberhasilan HTS pimpinan Abu Mohammed al-Jolani tersebut dipahami oleh sel-sel tidur jaringan ISIS di Indonsia, sebagai keberhasilan perjuangan mereka. Sehingga memantik keinginan untuk kembali berangkat ke Suriah. Karena, ada ratusan warga negara Indonesia yang menjadi deportan karena ditolak berangkat ke Suriah.
Selain itu, para mantan narapida terorisme (napiter) yang masuk dalam katagori merah, oranye dan hijau tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka masih harus terus dipantau, untuk memastikan mereka tidak bertemu dengan 'gelembung komunitas' yang berpotensi membawa mereka kembali ke masa lalunya.
Lalu, bagaimana memantau mereka itu? Sampai kapan pemantauan itu? Untuk menjawab itu, Pemimpin Redaksi BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani mewawancarai Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Jakarta Taufik Andrie di Sarinah Jakarta Pusat, Minggu 15 Desember 2024.
BATAMTODAY.COM beruntung bisa mewawancari pria berkacamata yang telah mengikuti kursus keamanan tingkat lanjut Asia Pacific Center for Security Studies (APCSS) di Hawaii, Amerika Serikat pada September s/d November 2014.
Lalu, pada Mei s/d Juni 2015 mengikuti Kursus Keamanan Siber dan Terorisme PCSS Garmisch-Partenkirchen di Muenchen, Jerman.
Selain itu, sarjana Fisip Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto Jawa Tengah itu juga telah mengikuti Kursus Terorisme Tingkat Lanjut Kontemporer di Deakin University, Australia pada Agustus s/d September 2017.
Dengan sedikit beground pendidikan tersebut, maka tepatlah kirannya jika BATAMTODAY.COM melakukan wawancara eksklusif dengan Taufik Andrie. Berikut petikannya:
Soal katagorisasi mantan narapidana terorisme (napiter) katagori merah, oranye dan hijau, bagaimana mekanismenya?
BACA JUGA: Densus 88 Tangkap 10 Terduga Teroris Jaringan JI dari Jawa Tengah
Sejak di dalam lapas (lembaga pemasyarakatan), biasanya sudah dapat dideteksi masuk katagori merah, oranye atau hijau. Kalau merah, memang sejak awal tidak bersedia ikut program deradikalisasi. Sedangkan yang oranye dan medium, kadang-kadang masih mau ikut program dan mau berbicara dengan para sipir penjara.
Apakah mereka itu tulus ikut program deradikalisasi?
Motivasi mereka tidak benar-benar tulus mengikuti program deradikalisasi. Karena di program deradikalisasi itu mereka akan mendapatkan insentif, misalnya, kemudahan untuk bertemu dengan keluarga saat besuk. Sedangkan yang katagori hijau itu biasanya memang iktikadnya baik, mereka memang sudah ada kesadaran dan kemauan ikut program deradikalisasi.
Sejak kapan mereka dapat diidentifikasi masuk katagori merah, oranye atau hijau?
Biasanya, sejak di lapas sudah kelihatan katagori mereka itu. Tapi untuk mempertajam penilaian, maka untuk konteks monitoring dan empower, maka yang merah memang harus full monitoring. Sedangkan untuk yang oranye, ya monitoring tetap dilakukan secara berkala, sambil dilihat potensi-potensi engagement untuk mengikuti program-program selanjutnya di luar lapas.
Kalau yang hijau itu mereka aktif, engagement dengan petugas lapas, dan petugas lain. sesungguhnya ini membawa keuntungan tersendiri bagi mereka. Karena itu akan menentukan status mereka setelah dibebaskan, termasuk proses pemantauannya nanti.
Apakah sejak sebelum sidang di Pengadilan Negeri sudah dapat dikatagorisasi?
Sejak sebelum sidang biasanya sudah dapat diketahui levelnya. Karena kan tim dari Densus 88 Mabes Polri sudah melakukan approach dengan mereka. Bahkan, sejak awal penangkapan hingga proses penyidikan itu sudah diapproach. Termasuk keluarga mereka juga sudah diapproach.
Bagaimana cara approachnya?
Itu sudah masuk dalam katagori teknis. Tapi sekarang ini tidak sama dengan proses approach 10 tahun lalu, yang pakai metode penyiksaan. Sekarang sudah tidak terdengar lagi ada penyiksaan, lebih banyak dialog, sekaligus masuk proses deradikalisasi.
BACA JUGA: Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris JI di Sulawesi Tengah
Ada contoh kasus mantan napiter kasus Poso yang telah bebas, Sulton Qolbi, tetapi ditangkap lagi oleh Tim Densus 88 pada Senin, 4 November 2024, apakah ini indikasi deradikalisasi gagal?
Subyek-subjek seperti pak Sulton Qolbi ini sebetulnya tidak lagi merah, tapi yang oranye-oranye ini kan banyak, dan mereka itu lebih susah dideteksi. Jumlah mereka lebih banyak, yang sedikit sebenarnya yang merah dan hijau. Maksudnya, hijau yang memilih menjadi hijau atas kesadarannya. Memang, hijau di atas kertas jumlahnya banyak, tetapi di lapangan belum tentu mereka masih hijau. Dan pak Sulton Qolbi dideteksi sebagai local leader.
Program deradikalisasi untuk katagori merah, perlu waktu berapa lama dan berapa persen peluang keberhasilanya?
Sebenarnya, lebih banyak contoh yang grafiknya dari oranye ke hijau. Tapi kalau dari merah ke hijau, jarang sekali. Merah itu memiliki kadar konsistensi yang panjang. Contohnya ustadz Maman Abdurrahman. Beliau diapproach panjang dan tampak ada perubahan. Yaitu, ketika beliau mengkritik gerakan bom Surabaya dan Makassar. Tapi apakah itu sebuah koreksi atas pemikirannya yang menyeluruh, ternyata belum tentu.
Tapi bahwa sekarang lebih melunak dari lima tahun lalu, itu sudah lumayan. Kalau bicara time frame, dari merah ke hijau, itu panjang sekali. Mungkin 5 tahun belum tentu. Tapi kalau dari oranye ke hijau, banyak. Sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kita sudah mulai membaik, ini juga berdampak pada pergerakan kelompok mereka.
Soal tiga katagori tadi, berapa jumlah warna yang masuk katagori merah?
Saya tidak punya angka pastinya. Kalau yang dominan, hijau. Oranye juga tidak sedikit. Sebetulnya, di atas kertas, program deradikalisasi dalam 5 tahun terakhir, relatif berhasil. Sebelum pandemi Covid 19 sudah menunjukkan prospek yang baik. Dari ukuran statistik, tingkat partisipasi semakin meningkat.
Kedua, resividisme yang lumayan turun. Karena resividisme itu rendah angkanya, di bawah 9 persen. Waktu 2002-2003, resividisme tidak sampai 100 orang. Itu kecil katagorinya. Yang sebetulnya menarik diukur adalah semakin banyak subyek yang bersedia untuk menjadi aktor perdamaian. Atau, semakin banyak yang bersedia untuk berbicara di depan publik untuk menyampaikan pesan perdamaian. Untuk testimoni dan mengajak orang untuk mengikuti program deradikalisasi.
Sebenarnya, apa yang mendorong mereka untuk memilih hijau, apakah karena insentif atau memang pemerintah saat ini sudah on the track, sesuai syariah?
Kalau bicara tentang dekonstruksi pemikiran, ini yang rumit. Karena pasti tidak hanya satu variabel, pasti lebih. Kalau boleh jujur, apa motivasi paling awal? Menurut saya insentif. Tidak hanya berupa uang, tapi juga kemudahan komunikasi dengan keluarga, kemudahan kunjungan keluarga, kemudahan dukungan buat anaknya sekolah, dukungan logistik dan sebagainya. Kalau itu difollow-up sampai bebas dari penjara, itu akan memberikan keuntungan dan motivasi bagi mereka setelah keluar dari penjara.
Jadi, negara cukup serius untuk mengeluarkan resources untuk program deradikalisasi. Seperti yang dialami mantan napiter di Bandung yang mendapat insentif berupa sawah dan uang untuk bibit dan pupuk sampai panen yang bisa mencapai Rp 60 juta. Bahkan, untuk kelompok komunitas jumlah dukungannya bisa sampai miliaran rupiah. Misalnya di Brebes Jawa Tengah, mereka membuat tempat wisata lokal. Itu dukungan pemerintah lumayan besar. Yah, dengan berbagai varian. Ada yang membangun tempat makan, wisata keluarga dan sebagainya.
Kalau motivasi kedua, banyak dari mereka yang mengalami turning point. Yaitu, turning point apakah karena faktor ideologis atau psikologis? Dugaan saya karena psikologis, faktor istri, anak, faktor koreksi terhadap sikap-sikap dia sebelum dipenjara. Karena kalau factor ideologis, prosesnya lebih lama.
Motif ketiga, mungkin ada satu-dua yang punya niat baik untuk giving back to society. Tapi sedikit. banyak juga pemerintah mengambil subyek-subyek yang bersedia bicara ke masyarakat, pergi ke sekolah-sekolah, ke lapas-lapas untuk berdiskusi dengan napi kelompok radikal. Semua untuk sebagai bentuk ungkapan giving back mereka kepada masyarakat, membalas kebaikan yang telah mereka terima sesuai dengan kapasitas mereka.
Mereka yang masuk katagori kelompok merah, apakah mereka itu di level pimpinan, menengah atau hanya pengikut?
Secara teori biasanya mereka pimpinan, tapi ada juga yang medium dan low, tapi yang 'kencang' masih banyak.*
Bersambung