Oleh: Dahlan Iskan
SAYA didudukkan di sebelah Ganjar Pranowo kemarin. Di Malang. Di Universitas Brawijaya. Kami sama-sama menghadiri pengukuhan gelar doktor sosiologi ekonomi Arif Afandi.
Arif mengaku: saya adalah mantan bos-nya. Di Jawa Pos dulu.
Ia juga mengaku: Ganjar adalah ketua umumnya --di Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Yogyakarta.
Ia memang pemimpin redaksi Jawa Pos selama lima tahun. Lalu menjadi wakil direktur.
Kariernya dimulai dari bawah: wartawan di lapangan. Sebagai wartawan ia telah mencapai puncak karir: menjadi pemimpin redaksi.
Waktu itu jabatan pemimpin redaksi sangat prestisius. Tidak sembarang wartawan bisa menjadi pemred. Tidak seperti sekarang. Semua orang bisa jadi pemred. Kalau tidak ada yang mau mengangkatnya, orang itu bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi pemimpin redaksi.
Setelah Arif sampai puncak, saya pun harus mencarikan jalan keluar: what next. Masih agak panjang untuk bisa naik menjadi direktur. Apalagi menjadi dirut.
Di swasta tidak ada pengaturan masa jabatan direksi. Direksi yang lain pun masih muda-muda. Prestasi mereka juga hebat --tidak mungkin diganti. Apalagi dirutnya. Siapa yang punya gambaran bahwa saya akan diganti. Saya sendiri selalu ge-er: mengira akan terus di Jawa Pos sampai meninggal dunia.
Masa itu tiba. Wali Kota Surabaya Bambang D.H. menginginkan maju lagi. Ia minta berpasangan dengan orang Jawa Pos. Saya bersyukur. Arif pun kami dorong ke politik.
Bambang itu tokoh PDI-Perjuangan. Sejak partai itu masih jadi musuh Presiden Soeharto. Ia sudah bergerak lincah di bawah tanah.
PDI-Perjuangan adalah pemenang telak Pemilu di Surabaya. Tidak tergoyahkan sampai sekarang. Besar kemungkinannya pasangan Bambang-Arif terpilih.
Berhasil. Jadilah Arif wakil wali kota. Lima tahun.
Lalu maju sebagai cawali. Bersaing dengan calon PDI-Perjuangan: Tri Rismaharini.
Saat itu Jawa Pos lebih memihak Risma. Arif gagal terpilih.
Sejak itu Arif tidak mau lagi di politik. Tapi saya mendorongnya untuk menjadi dirut PT Panca Wira Usaha, sebuah grup perusahaan daerah Pemprov Jatim.
Sayangnya Perusda harus berurusan dengan politik. Ia tipe orang yang tidak bisa mencampurkan urusan profesionalisme dengan kongkanglingkong politik. Ia hanya satu periode di Perusda. Tidak mau lagi lebih lama.
Di Jawa Pos Arif tergolong generasi pertama yang bergelar sarjana. Sebelum itu siapa saja bisa menjadi wartawan Jawa Pos --asal bisa menulis.
Arif sarjana komunikasi UGM. Lalu mendapatkan gelar S2 dari Unair. Dan kini menjadi doktor di Universitas Brawijaya.
Disertasinya mengenai swasembada gula. Yang menurut pemerintah akan tercapai di tahun 2028 --empat tahun lagi. Itu dicapai lewat restrukturisasi BUMN dan pembentukan ekosistem pergulaan.
Promotor Arif adalah Prof Dr Ir Darsono Wisadirana.
Karangan bunga berjajar sangat panjang di kampus sejuta mahasiswa itu.
UB adalah universitas dengan mahasiswa terbanyak di Indonesia: 100.000 orang. Juga pemilik prodi terbanyak.
Menurut Arif, restrukturisasi BUMN gula sangat berhasil. Sebanyak 36 pabrik gula kini berada di satu perusahaan --anak usaha holding PTPN III. Dengan demikian tidak ada lagi persaingan tidak sehat antar sesama pabrik gula. Misalnya: rebutan tebu. tebu rakyat di dekat pabrik gula A tidak lagi bisa dikirim ke pabrik gula G yang jauh.
Sejak pabrik gula BUMN disatukan di bawah satu perusahaan, dilakukanlah rayonisasi. Tebu dari kebun dekat pabrik A harus digiling di pabrik A.
Arif memang pernah menjadi komisaris di salah satu perusahaan BUMN bidang gula. Rupanya ia terus mengamati apa yang terjadi. Lahirlah disertasi ini: Arif memperoleh predikat cumlaude.
Saat diminta bicara, saya bertanya pada promovendus: setelah jadi doktor akan ke mana, kerja apa.
Saya memang pernah punya kesimpulan: masa depan terbaik wartawan adalah menjadi dosen. Dosen yang ilmunya banyak.
Saya pernah mendorong wartawan untuk jadi pebisnis. Banyak gagal. Wartawan itu punya jiwa mudah terharu. Pebisnis tidak boleh mudah terharu.
Saya juga sering mendorong wartawan jadi politisi. Banyak juga yang gagal: wartawan terlalu sering memakai hati nurani. Jadi politisi tidak perlu punya hati nurani.
Saya berpendapat, saat itu, seseorang yang sudah 10 tahun jadi wartawan sebaiknya kuliah lagi mengambil S2. Dengan biaya sendiri. Kalau berhasil lulus semua biaya S2 diganti Jawa Pos.
Dengan gelar S2 mereka bisa jadi dosen. Apalagi S3. Tidak perlu lagi harus habis-habisan banting tulang di lapangan. Akan kalah dengan wartawan yang muda-muda.
Saya tidak tahu apakah kebijakan S2 dapat uang pengganti dari perusahaan itu masih berlaku sampai sekarang.
Kelihatannya, setelah jadi doktor pun Arif belum tertarik menjadi dosen. Tapi dengan gelar itu Arif sebenarnya bisa diperebutkan universitas swasta. Ia bisa memperbaiki ratio antara mahasiswa-dosen di universitas swasta.
Saya tahu jiwa Arif tetap ingin jadi orang merdeka. Saya melihat itu saat Pilpres lalu.
Ia begitu sulit: sebagai orang dekat Mensesneg Prof Pratikno ia harus membantu calon presiden yang didukung Jokowi.
Apalagi Arif pernah jadi direktur lembaga pro-otonomi yang saya dirikan. Salah satu anggotanya adalah Prof Pratikno.
Tapi sebagai sahabat Ganjar dan Mahfud MD ia seharusnya memihak Ganjar.
Dan Arif pilih menjadi orang merdeka. Dengan bergelar doktor ia bisa lebih merdeka.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia