Oleh Dahlan Iskan
ADA seorang kiai yang mengikuti secara khusus acara kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia sekarang ini.
Dari detik ke detik. Lewat siaran langsung dari televisi Vatikan.
Siaran langsung itu dalam banyak bahasa. Kiai kita pilih siaran yang dalam bahasa Italia.
Ia seorang kiai sufi. Asli Betawi. Namanya: KH Dr Yusuf Daud. Ia alumnus SMAN 46 Jakarta. Lalu masuk Universitas Indonesia sampai bergelar doktor.
Kiai Yusuf memang punya hubungan batin dengan Sri Paus. Ia beberapa kali bertemu pemimpin Katolik tertinggi di dunia itu.
Kiai Yusuf adalah orang Asia pertama yang menerima beasiswa dari Vatikan. Tahun 2008.
Kuliahnya di tiga universitas di Roma: Gregoriana, Angelicum Saint Thomas, dan Pisai.
Mata kuliah yang didalami adalah tradisi agama-agama dunia dan budaya.
Waktu saya hubungi kemarin Kiai Yusuf lagi di Jakarta. Ia stand by di ibu kota menunggu kesempatan menghadiri salah satu acara Paus di Jakarta.
Sebelum Paus berangkat ke Asia, penerjemah Paus menghubunginya.
Ke Jakarta sekarang ini bagi Kiai Yusuf sekalian mengantarkan putrinya berangkat kuliah di Tiongkok: Najma Basheera Citra. Dia akan mengambil sastra Tiongkok di Guilin University of Electronic Technology di Guilin, Tiongkok Selatan.
Anak pertamanya sudah lulus dari universitas di Nanjing dan kini lanjut ke S-2 di Tiongkok.
Kiai Yusuf lulus S-1 UI jurusan sastra Arab. Lalu lulus S-2 UI di kajian hubungan internasional dengan spesialisasi Timur Tengah dan Islam.
Ia masih ambil S-2 lagi untuk Islamic College of Advance Studies jurusan Filsafat Tasawuf. Di bidang itu pula doktornya.
Ilmu agamanya sendiri didapat sejak masih anak-anak. Sejak SD ia sudah bisa baca kitab klasik pesantren. Kitab gundul. Gurunya adalah seorang kiai spiritual karismatis di sekitar Jakarta, KH Zahdam, Cikarang.
Ia masih lanjut nyantri ke beberapa kiai terkemuka di antaranya KH Idham Kholid. Juga belajar ulumul Quran dari Sheik Syarif Hidayat Muhammad Tasdiq. Lalu belajar tasawuf dan filsafat Islam ke Prof Hemati dari Iran dan dari Prof Seyyed Hossein Nasr.
Yang terakhir itu Anda sudah tahu: seorang filsuf sekaligus seorang sufi dari George Washington University, Amerika Serikat. Ia masih keturunan seorang alim dari era Dinasti Safavid, Mulla Seyyed Muhammad Taqi.
Lembaga Vatikan yang memberinya beasiswa itu adalah Nostra Aetate Pontifical Council of Interfaith Dialogue.
Nama 'Nostra Aetate' diambil dari kata pertama dalam Konsili Vatikan II tahun 1962 yang disahkan tahun 1965.
Saat itulah Gereja Katolik menyatakan bahwa 'Keselamatan' juga bisa datang dari agama lain selain Katolik. Ini revolusi besar di gereja Katolik: mengakui kebenaran tidak hanya ada di agama Katolik.
'Nostra Aetate' artinya 'Zaman Kita'. Keputusan itu diambil dalam sidang besar para Uskup sedunia lewat pemungutan suara dengan hasil 2.221 lawan 88.
Rasanya baru Katolik yang mau mengakui bahwa kebenaran juga ada di agama lain.
Bulan depan, 28 Oktober, keputusan besar itu berumur 59 tahun. Di peringatan ke-60 tahun depan, Kiai Yusuf diundang ke Vatikan. Ia sudah mendapat undangannya.
Sejak Kiai Yusuf tersebut kini sudah ada tujuh orang Islam Indonesia yang menerima beasiswa Nostra Aetate.
Mereka adalah Aan Rukmana (dosen universitas Paramadina); Gayatri Muthahari, aktivis Lintas Iman ICRP, Jakarta; Dewi Praswida Semarang (aktivis Gusdurian), Deni Iskandar asal Pandeglang, yang juga salah satu murid Abuya KH Ahmad Muhtadi.
Saya juga kenal beberapa orang Indonesia yang sering diterima Uskup di Vatikan. Mereka adalah pengusaha Katolik. Uskup Fransiskus pasti tidak asing ketika minggu ini berada di Indonesia.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia