BATAMTODAY.COM, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan target ambisius untuk mencapai nilai transaksi sebesar Rp 1.000 triliun di sektor keuangan digital dan kripto pada tahun 2028.
Target ini sejalan dengan roadmap yang dikeluarkan oleh OJK yang menekankan pentingnya mendorong inovasi dengan pengawasan yang berimbang, khususnya dalam mengembangkan sektor Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD).
Dalam roadmap tersebut, OJK menegaskan komitmennya untuk memastikan bahwa setiap inovasi yang muncul di sektor ini tetap berada dalam kerangka pengaturan dan pengawasan yang ketat. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan pasar, sambil memberikan ruang bagi inovasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang signifikan.
Kolaborasi untuk Kepatuhan dan Inovasi
Wakil Ketua Umum Asosiasi Blockchain & Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI), Yudhono Rawis, menyatakan dukungannya terhadap langkah OJK ini. Menurutnya, jika program strategis tersebut dijalankan, sangat memungkinkan nilai transaksi aset kripto diproyeksikan meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari Rp 301,75 triliun sepanjang Januari hingga Juni 2024 menjadi Rp 1.000 triliun di tahun 2028.
Yudho menambahkan, untuk mencapai target ambisius tersebut, diperlukan sinergi yang kuat antara regulator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya. "Kolaborasi yang efektif adalah kunci. OJK perlu terus memperkuat pengawasan dan memberikan panduan yang jelas, sementara pelaku industri harus memastikan kepatuhan terhadap regulasi serta terus berinovasi dalam menciptakan produk dan layanan yang aman dan sesuai kebutuhan pasar," ujarnya, dalam keterangan pers, Kamis (15/8/2024).
"Roadmap ini sangat penting untuk memastikan bahwa industri kripto di Indonesia dapat berkembang dengan tetap menjaga aspek kepatuhan terhadap regulasi yang ada. Ini juga membuka peluang bagi inovasi yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yangluas."
Yudho juga menyoroti pentingnya Regulatory Sandbox yang diperkuat oleh OJK sebagai ruang uji coba bagi inovasi di sektor keuangan. Menurutnya, keberadaan sandbox ini sangat krusial untuk memastikan bahwa setiap inovasi yang diujicobakan telah memenuhi standar kepatuhan sebelum diluncurkan secara luas di pasar. "Sandbox ini memungkinkan kita untuk menguji berbagai inovasi dalam lingkungan yang terkendali, sehingga kita bisa memastikan bahwa produk yang dirilis ke pasar sudah aman dan sesuai regulasi," tambah Yudho.
Peluang Kolaborasi dalam Inovasi Kripto
Yudho yang juga merupakan CEO Tokocrypto ini juga melihat banyak peluang kolaborasi antara industri kripto dan sektor jasa keuangan yang diawasi oleh OJK. Beberapa di antaranya termasuk potensi pengembangan reksa dana atau ETF berbasis aset kripto, penerbitan obligasi yang didukung oleh aset kripto, serta pengembangan produk asuransi yang dapat melindungi investor dari risiko volatilitas dan keamanan aset kripto.
"Kolaborasi ini tidak hanya akan memperkuat industri kripto, tetapi juga membuka akses yang lebih luas bagi investor untuk berpartisipasi dalam pasar yang diatur dengan baik. Investor akan merasa lebih aman dan percaya diri untuk berinvestasi di pasar kripto," jelasnya.
Potensi lain yang diangkat oleh Yudho adalah peluang bagi platform pinjaman peer-to-peer yang menggunakan aset kripto sebagai jaminan, serta crowdfunding berbasis token yang dapat digunakan untuk penggalangan dana bagi startup atau proyek tertentu. Ia juga menambahkan bahwa tokenisasi aset tradisional seperti properti atau komoditas lainnya menjadi token digital dapat meningkatkan likuiditas dan aksesibilitas investasi, yang pada gilirannya akan memperkuat sektor keuangan Indonesia secara keseluruhan.
Yudho optimis bahwa dengan berbagai bentuk kolaborasi yang ditawarkan, ekosistem kripto di Indonesia dapat berkembang secara sehat, terintegrasi dengan sektor jasa keuangan lainnya, serta memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian nasional. "Kami pelaku usaha dan asosiasi siap mendukung setiap inisiatif yang dapat mempercepat pertumbuhan industri ini, dan kami berharap kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya akan terus meningkat," tutupnya.
Dengan dukungan kuat dari berbagai pelaku usaha dan penerapan pengawasan yang berimbang, target OJK untuk mencapai nilai transaksi Rp1.000 triliun di tahun 2028 bukanlah sesuatu yang mustahil, melainkan langkah yang realistis untuk membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam ekonomi digital global.
Menebak Arah Bitcoin Pasca Penurunan Data Inflasi AS
Harga Bitcoin (BTC) mengalami fluktuasi yang cukup tajam dalam beberapa hari terakhir, menyusul rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) Amerika Serikat untuk bulan Juli. Sebelum data inflasi diumumkan, harga BTC sempat melonjak ke level US$61.000 karena investor institusi dan ritel berlomba-lomba melakukan akumulasi. Namun, setelah data dirilis, harga Bitcoin mengalami penurunan, menyentuh level US$ 58.885.
Penurunan inflasi CPI tahunan AS menjadi 2,9% dari sebelumnya 3% pada bulan Juni, menurut data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Sementara itu, inflasi inti CPI AS turun selama empat bulan berturut-turut, mencapai 3,2%-angka terendah sejak Maret 2021.
Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menjelaskan bahwa penurunan inflasi ini sebenarnya memberikan peluang bagi The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga. Namun, keputusan tersebut masih akan ditentukan berdasarkan data pekerjaan dan inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) yang akan datang.
"Pasar memprediksi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lebih besar pada bulan September. Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong minat terhadap aset berisiko seperti Bitcoin, karena imbal hasil dari instrumen yang lebih aman seperti surat utang negara cenderung menurun," ujar Fyqieh.
Menurut data CME FedWatch, ada kemungkinan 50% bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 50 bps pada bulan September, dan bahkan ada kemungkinan penurunan total sebesar 100 bps sepanjang tahun ini.
Sentimen Negatif yang Menekan Bitcoin
Meskipun data inflasi AS yang positif seharusnya memberikan sinyal pemulihan bagi pasar kripto, sentimen negatif tetap membayangi pergerakan Bitcoin. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah berita tentang pemerintah AS yang memindahkan 10.000 BTC ke Coinbase Prime. Bitcoin tersebut diduga berasal dari kasus Silk Road dan disita oleh otoritas AS setelah transfer Bitcoin senilai US$ 2 miliar sebelumnya pada bulan Juli. Akibat berita ini, harga Bitcoin langsung turun, meskipun sempat naik sebelum rilis data inflasi AS.
Secara teknikal, Bitcoin sedang mencoba pulih dari penurunan harga sebesar 25% yang terjadi akibat gejolak pasar global beberapa waktu lalu. Meskipun Bitcoin telah hampir sepenuhnya menghapus kerugian tersebut, konfirmasi lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan kelanjutan rebound di sesi mendatang. Potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed bisa menjadi pemicu positif bagi harga BTC.
Analisis Pergerakan Bitcoin
Sejak mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada bulan Maret, Bitcoin mengalami penjualan besar-besaran yang melibatkan dompet dari berbagai ukuran. Namun, tanda-tanda pembalikan mulai terlihat dalam beberapa minggu terakhir, terutama di antara dompet terbesar yang biasanya terkait dengan ETF. Dompet-dompet ini mulai kembali mengakumulasi Bitcoin, menunjukkan kepercayaan yang meningkat terhadap aset kripto ini.
Perubahan dalam pasokan Pemegang Jangka Panjang (Long Term Holder/LTH) selama 7 hari juga mengindikasikan adanya pergeseran dalam saldo agregat mereka. Distribusi signifikan yang terjadi sekitar titik tertinggi sepanjang masa pada bulan Maret sering kali dikaitkan dengan formasi puncak makro. Namun, metrik ini kini telah kembali ke wilayah positif, menandakan bahwa LTH cenderung mempertahankan koin mereka.
Peralihan dari distribusi ke akumulasi ini biasanya mencerminkan kepercayaan yang lebih besar terhadap aset, yang dapat mengurangi tekanan jual di pasar. Akibatnya, perilaku ini bisa mendukung harga Bitcoin atau bahkan memicu momentum kenaikan, karena lebih banyak koin yang disimpan untuk jangka panjang.
Dari perspektif teknis, Bitcoin saat ini diperdagangkan di bawah rata-rata pergerakan eksponensial 50 hari. Jika terjadi breakout di atas EMA 50 hari, harga BTC kemungkinan akan naik menuju garis tren atas, yang sejajar dengan level retracement Fibonacci 0.786 di US$ 66.900 atau sekitar Rp 1,045 miliar. Sebaliknya, jika Bitcoin gagal menembus gelombang merah ini, harga bisa turun menuju garis tren bawah di sekitar US$ 54.800 atau sektiar Rp 856 juta, yang sejajar dengan garis Fib 0.236.
Editor: Gokli