BATAMTODAY.COM, Jakarta - Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan mendorong agar Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023 segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah pusat.
BKS Provinsi Kepulauan terdiri atas delapan provinsi berciri kepulauan, yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Ketua Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi mengatakan, sudah 17 tahun daerah provinsi kepulauan memperjuangan RUU ini.
"Kami tidak meminta otonomi daerah, melainkan perlakuan yang sama antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berdiri daratan," kata Ali Mazi dalam Focus Group Discussion RUU Daerah Kepulauan di Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Dia mencontohkan, pembagian Dana Alokasi Umum atau (DAU) dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk.
Sementara faktanya, daerah berciri kepulauan memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan dan jumlah penduduk lebih sedikit yang tersebar di pulau-pulau. "Kalau air pasang, berkurang daratan kami."
Sementara untuk mengelola wilayah laut, menurut Ali Mazi, pemerintah pusat sudah mengatur bahwa tidak ada lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Kewenangan mengelola wilayah laut 0-12 mil dari garis pantai berada di tingkat provinsi, dan selebihnya dipegang oleh pemerintah pusat.
"Indonesia adalah poros maritim dunia dan berciri negara kepulauan. Tetapi masyarakat yang tinggal di kepulauan sangat menderita karena hanya berharap dari laut," kata Ali Mazi. Padahal, potensi daerah kepulauan tidak kalah dengan daerah yang didominasi daratan.
Ada hasil laut, tambang, gas, kehutanan, dan sebagainya. "Namun karena pembagian ini tidak merata, kami tetap miskin."
Contoh sederhana tentang teri Medan. Teri Medan yang dikenal oleh masyarakat, menurut Ali Mazi, sejatinya berasal dari Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.
"Memang kami mengirim teri ke Medan, kemudian teri itu diolah dan dikirim ke Jakarta dan daerah lain, termasuk Sulawesi Tenggara. Namanya jadi teri Medan," katanya.
Kondisi ini terjadi karena keterbatasan informasi, teknologi pengolahan bahan baku, pendidikan, dan sebagainya.
Kepala Badan Pengubung Pemerintah Provinsi NTT, Donald Izaac menyampaikan kondisi geografis di daerahnya. NTT memiliki 600 pulau dan yang berpenghuni sebanyak 44 pulau.
Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terluar umumnya akan terisolasi selama empat bulan atau selama musim hujan.
"Biasanya sepanjang November sampai Januari angin kencang dan ketinggian ombak bisa mencapai empat sampai enam meter," katanya.
Akibatnya, bandara ditutup dan pelabuhan beroperasi sesuai kondisi cuaca. Kondisi ini membuat harga bahan pokok di pulau-pulau tersebut amat tinggi lantaran kendala suplai dan distribusi.
Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri mengatakan, mahalnya ongkos distribusi dan biaya transportasi merupakan salah satu dampak dari kondisi daerah berciri kepulauan dibandingkan dengan daerah berciri daratan.
Hingga kini, menurut dia, biaya logistik dan transportasi di Indonesia menjadi yang tertinggi, yakni sekitar 25 persen. Padahal di negara lain, angkanya kurang dari 15 persen.
"Daerah kepulauan akan terus melarat kalau anggaran hanya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas daratan," katanya.
Rokhmin menunjukkan akibat dari disparitas pembangunan yang jomplang ini. Pulau Jawa menopang 58 persen perekonomian nasional, padahal luasnya hanya 15 persen dari total wilayah Indonesia.
Sementara daerah lain yang luasnya 85 persen, hanya berkontribusi sebesar 19,5 untuk perekonomian nasional. Dia pun menukil cerita ketika Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Cina.
Saat itu, Megawati bertanya kenapa Cina begitu agresif masuk ke perairan negara lain? Pemimpin Cina menyatakan, daratannya tak akan cukup untuk memberi makan bagi 1,4 miliar penduduk di negara itu.
Sebab itu, Rokhmin mengusulkan agar sejumlah provinsi lain yang juga memiliki pulau-pulau bergabung dalam Badan Kerja Sama Provinsi Daerah Kepulauan. Mereka adalah Aceh, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat.
Ali Mazi menyatakan, BKS Provinsi Kepulauan berharap RUU Daerah Kepulauan segera disahkan, sehingga bisa menjawab persoalan pembangunan di daerah kepulauan, termasuk wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau terluar yang selama ini masih sangat tertinggal dari daerah-daerah lain.
"Ini semua demi kemajuan masyarakat dan wilayah di seluruh daerah kepulauan dalam bingkai NKRI. Dan Indonesia menjadi poros maritim dunia," katannya.
Dalam Focus Group Discussion tersebut, hadir pula Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Nono Sampono; Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Syamsudin Abdul Kadir; Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Maluku, Samuel E. Huwae; Asisten I Provinsi NTB, Madani Makarim; Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Yanuar; Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Zulhendri; dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Utara, Erni Tumondo.
Ada pula para ahli dari berbagai bidang, yakni Pakar Hukum Laut Internasional Universitas Indonesia, Arie Afriansyah; Direktur Eksekutif Apeksindo, Andi Fajar Asti; Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, Alex Retraubun; Nurkholis dari Ekonomi dan Bisnis dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia; pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Ersti Yulika Sari; dan Midaria Novawanty Saragih dari EcoNusa.
Editor: Surya