BATAMTODAY.COM, Pekanbaru - Era Orde Baru, ketika Pulau Batam dikembangkan sehingga Era Reformasi ekonomi, politik dan hukum, inkonsistensi kebijakan dan ketidakpastian regulasi adalah penyebab utama ketidakberdayaan pengembangan Pulau Batam bersaing dengan Singapura.
Pembangunan dan pengembangan Pulau Batam untuk ‘menyaingi Singapura’ selama ini yang malu-malu diucapkan terbukti tidak ‘berdaya’. Ketakberdayaan disebabkan faktor politik terlalu mendominasi dibandingkan dengan faktor ekonomi dan hukum.
Demikian dijelaskan Muchid Albintani ketika berbincang-bincang dengan pers dalam diskusi awal rencana presentasi makalahnya yang berjudul, “Daerah Perbatasan Strategis, Kawasan Ekonomi dan Intervensi Negara di Pulau Batam, Indonesia: Pendekatan Ekonomi-Politik-Hukum, Rabu (25/4/2018) di Batam.
Menurut Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau ini, makalah yang akan dipresentasikan pada Kongres Dunia ke-25, Asosiasi Ilmu Politik Internasional [International Political Science Association/IPSA] pada 21-25 Juli 2018 dengan tema ‘Perbatasan dan Pinggiran’, di Brisbane, Queensland, Australia adalah hasil penelitian mandiri.
Penelitian ini, kata mantan Dekan Fisip Umrah, dilatarbelakangi semakin meningkat dan kuatnya intervensi negara [pemerintah pusat] secara langsung di daerah perbatasan strategis era desentralisasi di Indonesia.
“Intervensi negara dilakukan melalui pengelolaan kawasan industri era reformasi ekonomi politik dan politik hukum [dengan diterbitkannya berbagai regulasi terkait pengelolaan kawasan ekonomi] di Pulau yang letaknya strategis karena berbatasan dengan Singapura,“ jelas Muchid yang juga alumni Universitas Kebangsaan Malaysia
Muchid menjelaskan jika paper ini berusaha menjawab dua pertanyaan, pertama, dalam wujud apa negara melakukan intervensi langsung pengelolaan kawasan ekonomi di Pulau Batam pada era desentralisasi? Kedua, apa implikasi terhadap kuatnya intervensi negara dalam mengelola kawasan ekonomi Pulau Batam sebagai daerah perbatasan strategis?
Berupaya menjawab kedua pertanyaan ini, menurut Muchid, berdasarkan pengamatannya sementara, bahwa, pertama, wujud intervensi negara dalam pengelolaan kawasan industri Pulau Batam sebagai daerah perbatasan strategis adalah tetap dipertahankannnya ‘Otorita Batam gaya baru’, sebuah institusi pusat yang mengelola atau badan pengusahaan sebagai pengelola kawasan industri Pulau Batam.
Wujud intervensi, menurut anggota Asosiasi Ilmu Politik Internasional ini, selain menyebabkan ketidakpastian hukum yang pada kenyataannya menjadi penopang kuatnya kehadiran lembaga yang dahulu bernama Otorita Batam yang kini berubah nama, sementara tetap tidak mengubah subtansi keberadaannya sejak Orde Baru sehingga era Reformasi.
Berdasarkan pada realitas ini pula, maka Muchid menjelaskan bahwa perwujudan lembaga tersebut diposisikan sebagai ‘negara dalam negara’. “Kedua, implikasi perwujudan intervensi negara ini menyebabkan semakin kuat [otonomnya] keberadaan ‘Otorita Batam gaya baru’ sebagai pengelola kawasan ekonomi pada era desenteralisasi (reformasi konstitusi), menunjukkan jika lembaga ini adalah bagian dari rezim otoritarian yang tersisa atau dengan istilah ‘Neo-Soehartois’. Realitas ini memunculkan fenomena ’Negara Dalam Negara’ era Orde Baru, sementara era Reformasi, disebut fenomena ’Negara Dalam Daerah’, “ jelas mantan korensponden Majalah Tempo di Malasyia ini.
Lebih lanjut, anggota IBH Jakarta ini, menjelaskan jika kedua fenomena tersebut menunjukkan bahwa, ‘reformasi politik dan politik hukum’ era desentralisasi di Indonesia, khususnya di dearah perbatasan strategis Pulau Batam, kekuasaan [politik], mengalahkan ekonomi dan hukum.
“Sehingga dalam memahami intervensi negara ini, diperlukan pendekatan Ekonomi-politik-hukum. Secara teoritis pendekatan ini merupakan kontribusi akademis yang dapat menjelaskan: mengapa politik [kekuasaan] pada era desentralisasi [otonomi daerah] di Indonesia yang selalu dominan dibandingkan ekonomi dan hukum."
Editor: Dardani