TAHUKAH Anda, berapa jam waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan cop stempel dari petugas ICA (Immigration & Checkpoint Authority of Singapore) saat peak season? 3 jam dan 27 menit! Itu dihitung sejak kapal SINDO Fery lepas tali tambat dari Pelabuhan International Batam Center. Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani, meliput one day tour di Singapura saat libur panjang di Indonesia.
Kamis, 24 Desember 2015. Hari libur nasional, memperingati kelahiran Nabi Muhammad, maulid. Lalu, disambung dengan libur hari raya natal, besoknya. Dua hari libur nasional itu bersambung langsung dengan hari Sabtu dan Minggu. Maka, jadilah 4 hari libur nasional berdertan ini menjadi peak season akhir tahun yang menyenangkan. Wajar jika Bandara Hang Nadim Batam, Pelabuhan Domestik Sekupang hingga Pelabuhan Fery Internasional Batam Center diserbu ribuan penumpang.
Pagi itu, Kamis, 24 Desember 2015 pukul, 09.10 WIB, saya dan sahabat dari Jakarta, Benyamin, tiba di depan konter pelayanan ticketing SINDO Fery di Pelabuhan Fery Internasional Batam Center. Saat itu, antrean telah mengular. Antrean ini pun semakin panjang, karena satu orang penumpang membawa lebih dari 1 paspor untuk mendapatkan boarding pass. Bahkan, ada diantara mereka yang membawa group wisata.
Walau berdiri di belakang 10 orang pengantre, saya harus menunggu hampir 1 jam sebelum mendapatkan boarding pass berangkat ke Singapura, pukul 11.35 WIB. Inilah etape pertama antrean yang harus saya hadapi dengan sabar. Kurang dari 20 menit sebelum gate close, saya dan Benyamin pun bergerak menuju ruangan pemeriksaan imigrasi. "Hari ini memang ramai, kami tambah tiga jadwal keberangkatan," ujar Kusni, Koordinator Pelayanan Operator SINDO Ferry, Kusni menjawab BATAMTODAY.COM.
Tanpa membuang waktu, kami berdua langsung melanjutkan etape kedua antrean sebelum mendapatkan cop stempel exit point dari petugas Imigrasi Indonesia. Tanpa banyak tanya, kecuali menjawab soalan yang saya lontarkan, Evi Risdiyanti langsung mencop paspor saya.
Pukul 11.35 WIB, kapal SINDO Fery lepas tali tambat dan berangkat menuju Singapura. Ombak tenang, angin juga tak ubahnya kipas yang mengelus halus. Satu jam waktu tempuh perjalanan laut ini pun berjalan on schedule. Kapal fery yang bersih ini pun berhasil mendekat hingga sekitar 100 meter dari bibir Pelabuhan Fery International Harbourfront. Saat itu, jam di ponsel saya menunjukkan angka 12.35 WIB atau 13.35 waktu Singapura.
Para penumpang sudah ramai berdiri dari kursi bersiap turun. Mereka saling berburu untuk bisa keluar duluan dari lambung kapal fery ini. Tapi niatan mereka itu tertunda. Karena otoritas pelabuhan ternyata belum mengizinkan fery merapat, harus antre.
Menunggu kapal fery lainnya lepas tali tambat meninggalkan pelabuhan fery Singapura yang megah itu. Satu jam lamanya, fery kami menunggu izin merapat turun. Bukan hanya saya dan Benyamin yang harus melewati etape antrean, tapi fery kami pun juga antre 1 jam.
Pukul 14.35 waktu Singapura, saya dan Benyamin benar-benar menginjak tanah Singapura. Itulah untuk kali pertama, sahabat saya dari Jakarta ini menghirup udara negara kota itu. Ada senyum mengembang di bibirnya saat kami melewati lorong pelantar beton menuju ruang pemeriksaan imigrasi. Tapi, lagi-lagi langkah kami terhenti, sebelum memasuki ruangan pemeriksaan checkpoint imigrasi. Di depan kami, sudah mengular antrean panjang 2 jalur.
Ya, sebelum memasuki ruang pemeriksaan imigrasi itu kami mulai menjalani "ritual antre". Inilah etapi antre yang "sesungguhnya". Bagaimana tidak, hampir 2 jam kami mengular berbaris dua baris melewati lorong berbentuk spiral 9 putaran. Kami dipisahkan dengan besi holo putih anti karat. Untungnya, di belakang saya ada Jafier, bocah berusia 3 tahun yang comel dan pandai menyanyi.
Meski tak jelas, tapi lagu bahasa Mandarin yang dinyanyikannya sambil teriak-teriak itu, cukup menghibur kami. Ya, hanya nyanyian lagu "tak jelas" Jafier itulah yang legal di tengah "ritual antre" panjang itu. Sebab, di sisi tengah jalur spiral antrean, tertulis jelas : No Using Handphone, No Phototaking, No Videotaking, lengkap dengan gambar ponsel, kamera dan vedeo yang dicoret dengan garis diagonal warna hitam.
Sesungguhnya, petugas ICA telah menawari Ibu Jafier yang menggendong adik Jafier berusia 6 bulan itu untuk keluar dari jalur "ritual antre", melewati jalur khusus. Ketika mereka baru memasuki lorong spiral pertama jalur antre. Tapi, tawaran itu ditolak wanita dari Pekanbaru itu. Sebab, tidak mungkin baginya meninggalkan Jafier berjuang sendiri melalui 9 lorong spiral antrean, berdua dengan ayahnya saja. "Dia pasti nangis kalau saya tinggal, biar sajalah antre begini," ujarnya kepada BATAMTODA.COM.
Perjalanan "ritual antre" baru memasuki lorong spiral kedua, nyanyian Jafier semakin nyaring, lengkap dengan teriakan tidak jelasnya itu. Di satu jam pertama mengular itu, bocah comel itu benar-benar menjelma jadi pusat perhatian para pengantre. Termasuk, perhatian dari seorang petugas ICA. Melihat gelagat Jafier yang semakin "vocal", akhirnya petugas ICA pun melunak dan memberikan laluan khusus kepada ayah Jafier, istri dan kedua anaknya itu memotong antrean. Selamatlah Jafier. "Jafier telah menyelamatkan keluarganya dari penderitaan ini," ujar Benyamin, sahabat saya.
Sebelum Jafier menghilang, beberapa pengantre lain juga diberi akses khusus oleh petugas ICA. Ternyata, mereka itu adalah para penumpang pesawat yang akan melanjutkan perjalanan ke Bandara Changi Singapura. Jika harus mengikuti seluruh proses "ritual antre" ini, sudah pasti tiket mereka akan hangus menjadi data angka kosong. Tak bermakna apa-apa.
Selain anak-anak berusia di bawah 6 bulan dan ibunya, orang tua dan pasien rumah sakit juga diberi laluan khusus. Ternyata, saat saya menghitung menit demi menit berlalu, melintas sosok yang saya kenal, Jamin Hidayat, Ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Bintan yang juga bos Kawasan Industri Lobam Bintan. Jamin Hidayat tidak masuk ke dalam jalur spiral yang telah memenjarakan saya dan Benyamin diatara sesak dan napas ratusan orang. Jamin Hidayat melenggang ke jalur khusus dan melenggang mulus.
Ingat kata orang bijak, setiap situasi apa pun pasti ada hikmah. Benar, saya melihat seorang pengantre bertubuh subur namun tegap. Menggendong tas punggung di dada dan punggungnya. Ada juga tali tas lain yang diselempangkan di bagian kanan lehernya. Dengan beban yang begitu berat, pria tangguh itu memejamkan matanya. Ya, dia tidur sambil berdiri, tanpa lupa sedang mengantre. Luar biasa. Sayang, saya tak sempat bertanya, di mana dia pelajari teknik tidur sambil antre itu. Apakah itu teknik zoga atau apa, entahlah.
Semua yang antre di jalur 9 lorong spiral itu adalah warga negara asing. Tidak ada satu pun warga negara Singapura bersama kami. Sebab, pemerintah Singapura telah meninggikan seranting dan memajukan selangkah bagi rakyatnya. Bukan hanya itu, warga Indonesia yang telah menjadi permanen resident pun juga diberi laluan khusus. Tidak seperti kami saat ini.
Hampir 2 jam berlalu, akhirnya waktu mengantarkan saya berdiri di depan, Jalajakumari. Tak ada tanya, hanya melihat beberapa halaman paspor, terutama halaman 2 paspor saya, mengecek nama dan mencocokkan foto dengan wajah saya, lalu tangan Jalajakumari pun mengecop paspor saya. Saya pun kembali melihat jam di ponsel telah menampilkan angka digital 16.08 waktu Singapura. Legaaaaaa...
Dengan sisa waktu yang ada, kami melanjutkan perjalanan keluar dari Arrival Gate 1 menaiki excalator menuju lantai 3 Pelabuhan Harbourfront. Target kami adalah mendapatkan boarding pass untuk langsung pulang ke Batam. Ya, kami datang dan langsung ingin pulang. Karena waktu sudah menjelang sore. Pilihan kami adalah the second last ferry time schedule. "Full, yang ada last fery, mau?" ujar pelayan tiket SINDO Fery berbahasa Indonesia.
Lalu, kami pun memilih boarding pass bertulis 19.35 waktu Singapura. Ya, itulah waktunya fery yang akan mengantarkan kami kembali ke Batam. Itu artinya, 1 sebelum jam keberangkatan, kami sudah harus kembali masuk perut Harbourfront.
Praktis, kami hanya punya waktu 3 jam untuk makan siang, menunggu bus dan ritual foto-foto di depan patung singa muntah, Marina City. Lumayan, cukup untuk membuktikan bahwa kaki sahabat saya, Benyamin telah melangkah dan melihat indahnya negara kota, Singapura.
Akhirnya, pukul 19.07 waktu Singapura, Pan Meiling, petugas ICA Singapura, menyetempel paspor saya, berisi tanda bahwa saya boleh meninggalkan Singapura. Selamat tinggal Singapura. Goodbye! See u again soon, but not in peak season.
Editor: Dodo