Oleh DR Muchid Albintani
SEBUAH obsesi wajar yang berkinginan luhur di penghujung zaman, jika mata uang di negeri yang mayoritas muslim ini menjadi khilafah dunia. Atau orang-orang di dunia menyebutnya Khilafah Rupiah.
Sebagai sebuah obsesi boleh-boleh saja. Dahulu juga bahasa Melayu pernah menjadi Lingua Franca di Asia Tenggara. Lalu apa yng salah dengan obsesi tersebut?
Berobsesi tidak salah. Bermimpi juga sama. Apalagi bercita-cita dengan upaya bersungguh-sunggguh. Plus sebagai orang beragama, tak lupa berdoa. Namun, obsesi, mimpi atau cita-cita luhur tersebut, belakangan ini akan selalu menjadi sebuah paradok yang ironis. Faktor penyebabnya, tentu saja, istilah khilafah yang disandingkan dengan rupiah sebagai alat tukar (mata uang) resmi negeri ini.
Istilah khilafah dari kata khalifah. Istilah ini yang merepresentasikan personal untuk kemudian menjadi khilafah dalam sebuah sistem (mata uang) sebagaimana Dolar AS, Euro, Pound Sterling, dan Yuan, misalnya. Bukan apa-apa, belakangan ini istilah yang mendeskripsikan sebuah sistem dunia tersebut, terkesan angker, menyeramkan dan menakutkan.
Khilafah dalam makna yang esensi (sebuah istilah yang mengalami proses perubahan makna atau ameliorasi) menjadi pengganti (digantikan). Khilafah yang berasal dari kata 'kha-la-fa' yang dimaknai mengganti. Dalam konteks ini, istilah khilafah terkait sistem pengatur (alat transaksi, alat tukar yang sekaligus menjadi komoditas).
Yang lebih khusus, terkait kekuatan yang mengatur transaksi atas nama sistem keuangan dunia. Perkiraan jejak digital menunjukkan jika mata uang dolar amerika meguasai enam puluh lima persen, Euro duapuluh persen, sementara Yuan, mata uang China negara yang menguasai perdagangan dunia, hanya satu koma tujuh persen. Jika dikalkulasi dolar dan euro menguasai delapan puluh lima persen transaksi ekonomi dan perdagangan dunia.
Merujuk pada penjelasan penguasaan transaksi mata uang dunia, seharusnya istilah khilafah bukan lagi menjadi sensi, angker ketika dimaknai sebagai sistem. Tentu saja, istilah khilafah yang diikuti kata Islam.
Istilah khilafah merujuk makna etimologinya justru aneh dikesankan antipati pada sebuah negara yang 'selalu mengklaim sebagai mayoritas muslim terbesar dunia'.
Istilah terbesar, bukan karena jumlah persentasenya, melainkan secara kuantitas mayoritas di dunia dalam sebuah negara. Ada negara seperti Turki, Pakistan dan Brunei, misalnya yang juga mayoritas secara persentase dalam sebuah negara, tetapi jumlahnya tidak terbanyak di dunia, seperti Indonesia.
Esai akhir zaman berupaya meneroka-cermati istilah khilafah dihubungkan dengan nama mata uang Indonesia, Rupiah, mempancang bukan saja sebagai obsesi, mimpi serta cita-cita, melainkan eksperimentasi (uji coba) yang perlu diwujudkan jika Islam adalah Rahmatan Lil 'Alamin.
Istilah Rahmatan Lil 'Alamin adalah antipati khusus bagi kalangan muslim yang pobia terhadap agamanya sendiri, Islam. Dari sini hemat saya, tidak salah, paling tidak minimal terdapat tiga argumentasi mengapa rupiah dapat menjadi pemimpin mata uang dunia, Khilafah Rupiah di masa depan.
Pertama, sebagai eksperimentasi mayoritas penduduak muslim terbesar dunia. Rupiah adalah identifikasi sekaligus eksistensi umat terbesar dunia. Dominasi sekaligus hegemoni dolar AS tidak lagi menjadi rahasia, jika ada latar belakang sejarahnya. Sederhananya, 'penjajahan' dunia melalui dolar teridentifikasi melalui bank central Amerika, Federal Reserve (the Feed), yang tidak dimiliki oleh negara AS, melainkan pihak swasta.
Boleh ditelaah jejak digital, negara mana yang bank negaranya, bukan dimiliki oleh negara bersangkutan. Pendirian bank dunia (World Bank), Badan Keungan Internasional (IMF), dan mencuatnya istilah inflasi tidak terlepas dari pihak swasta pemilik the Feed, contohnya.
Kedua, sistem kapitaslime dolar yang 'menghalalkan riba'. Sebagai penduduk muslim terebesar, saatnya umat berkeksperimen dengan sistem ekonomi Islam yang anti riba (bunga yang berafiliasi ke perburuan rente menuju serakah), hanya menunggu kesadaran dan keberanian umat. Sederhananya dalam konteks ini, umat berani hidup tanpa riba. Yang dalam bahasa lainnya, mungkinkah sistem perekonomian tanpa bank apalagi bursa saham?
Ketiga, negara kepulauan terbesar dunia dengan geo-strategi mumpuni (sebagai Choke Point). Penyadaran posisi ini mempunyai hubungan signifikan dengan perdagangan dan perekonomian dunia.
Hubungan ini akan disadari, sederhannya menoleh Singapura dengan belajar sekaligus bersaing. Negeri kecik nan cerdik ini, mengalahkan segala-galanya termasuk mata uang rupiah.
Berdasarkan ketiga penjelasan tersebut adalah bagian renungan akhir zaman yang selalu dilupakan umat. Istilah Khilafah Rupiah adalah proses penyadaraan terkait kemerdekaan yang diperoleh melalui rakhmat Allah yang Maha Kuasa.
Jadi Khilafah Rupiah di negeri mayoritas muslim, walaupun seolah-olah dikesankan sebuah parodi yang ambigu, namun memiliki hikmah yang luar biasa. Eksperimentasi Khilafah Rupiah adalah sebuah keniscayaan akhir zaman.
Pertanyaannya: mengapa kemerdekaan sebagai berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, jangankan dengan dolar Amerika, dengan dolar Singapura negeri kecik nan elok, dan cerdik ini saja, mata uang rupiah terbenam? Wallahualam bissawab. ***
Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.