logo batamtoday
Minggu, 17 November 2024
Panbil Group


Di Persidangan, Aguan Bos Tambang Pasir Ilegal di Nongsa Akui Tak Punya Izin
Rabu, 19-08-2020 | 11:48 WIB | Penulis: Paskalis Rianghepat
 
Sidang Lanjutan Perkara Pertambangan di PN Batam, Selasa (18/8/2020). (Foto: Paskalis RH)  

BATAMTODAY.COM, Batam - Terdakwa Johanes Yanto alias Aguan, mengaku tidak memiliki izin resmi terkait aktivitas penambangan pasir di depan Perumahan Symphony Land, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa.

Hal itu Ia sampaikan saat menjalani sidang yang beragendakan pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Selasa (18/8/2020) kemarin.

"Aktivitas pengerukan pasir yang saya jalani selama ini tidak memiliki izin usaha pertambangan," kata Aguan dihadapam ketua Majelis Hakim David P Sitorus, Egi Novita dan Adiswarna.

Aktivitas pengerukan tanah, kata dia, baru dijalankan Taufik (DPO). Dalam melakukan usaha pengerukan pasir dan pemotongan tanah, jelasnya, dia (Aguan) yang memperkenalkan Taufik kepada pemilik lahan.

Aguan menjelaskan, sebelum menjalankan usaha pengerukan pasir, ia ditugaskan oleh Taufik untuk membuat kesepeakatan secara lisan dengan Rahma selaku pemilik lahan seluas 20.000 m2. Dalam kesepakatan itu, pemilik lahan akan mendapat uang sewa lahan atau kompensasi dari hasil penjualan tanah atau pasir.

Dari penjelasan terdakwa Aguan, hakim David pun mencercanya dengan berbagai pertanyaan, diantaranya siapa yang menjadi otak dari kegiatan pengerukan lahan di Kelurahan Batu Besar, Kecamatam Nongsa?

Menanggapi pertanyaan hakim, Aguan lantas berkilah bahwa otak dari usaha pertambangan atau pengerukan lahan adalah Taufik yang hingga saat ini masih menjadi buron oleh kepolisian (DPO).

"Yang mulia, dalam kasus ini saya hanya sebagai perantara yang memperkenalkan Taufik dengan Rahama sebagai pemilik lahan," terang Aguan.

Dari hasil pertemuan, jelasnya, Taufik menyepakati akan memberikan uang sewa lahan atau kompensasi sebesar Rp 15.000 per trip dari hasil penjualan tanah atau pasir. Sementara untuk dirinya akan mendapatkan imbalan sebesar Rp 7,5 juta setiap dua minggu sekali karena telah mempertemukan Taufik dan Rahama.

Mendengar jawaban yang berbelit dari terdakwa Aguan, hakim David tampak berang. "Terdakwa, kamu jangan berbohong, pasalnya jawaban kamu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada didalam BAP ini?"

Di dalam BAP yang kamu tandatangani, kata David, kamu (Aguan) mengatakan mendapatkan imbalan sebesar Rp 5 ribu per trip dari hasil penjualan pasir hasil kerukan.

"Jawaban kamu tidak sesuai dengan BAP penyidik. Disini kamu bilang nggak tau apa-apa, tapi di BAP ikut menikmati hasilnya. Saya ingatkan sekali lagi kamu harus jujur, karena kejujuran kamu yang akan menolong kamu nantinya," kata David kesal.

Bukan hanya itu, Aguan pun berkilah dengan mengatakan seluruh aktivitas pertambangan merupakan tanggungjawab Taufik. Sebab, seluruh alat berat yang digunakan untuk melakukan pertambangan merupakan milik dia (Taufik).

Usai mendengarkan keterangan terdakwa, majelis hakim pun menunda persidangan selama satu minggu untuk pembacaan surat tuntutan.

Diuraikan JPU dalam surat dakwaan, terdakwa Aguan, sapaan Johanes Yanto ditangkap Kasubdit IV Ditreskrimsus Polda Kepri saat melakukan penggerebekan di tempat penambangan pasir ilegal di Sambau.

"Terdakwa Aguan ditangkap aparat kepolisian lantaran tidak mengantongi surat perizinan pertambangan, sebagaimana seharusnya sebagai persyaratan yang dimiliki oleh pelaku usaha penambangan," urai Nuel, sapaan akrab JPU Immanuel Baeha.

Dalam penggerebekan itu, kata Nuel, selain mengamankan terdakwa, polisi juga berhasil mengamankan 4 unit Eksavator dan 6 unit mobil Dump truck dan 5 unit mobil Toyota berbagai merk untuk digunakan saat penambangan berlangsung.

Penambangan pasir ilegal ini, terangnya, berawal dari kesepakatan antara terdakwa Aguan dan Taufik (DPO) berupa pengerukan tanah atau pemotongan tanah yang berlokasi di Jalan Hang Jebat, Simpang 3 Kavling depan Perumahan Symphony Land, Kelurahan Batu Besar.

"Dalam melakukan aktivitas penambangan, terdakwa harus merogoh kocek sebesar Rp 23 juta per bulan untuk menyewa Eksavator, sementara para operator yang dipekerjakan mendapat upah Rp 170 ribu perjamnya," ungkapnya.

Dalam melakukan usaha penambangan, lanjutnya, terdakwa Aguan menjual tanah hasil pengerukan dengan harga Rp 150 ribu per Dump Truck, sehingga omset dari aktivitas ini mencapai miliaran rupiah per bulan.

Dari hasil catatan yang berhasil disita polisi, sambungnya, tanah yang berhasil diangkut oleh Dump Truck sebanyak 1.551 trip, dimana terdakwa Aguan sebagai pemilik kegiatan penambangan meliputi tugas sebagai pengawas seluruh kegiatan di lapangan, memeriksa jumlah penjualan tanah yang dicatat oleh Checker, menentukan titik lokasi lahan yang harus dipotong atau dikeruk oleh Eskavator menerima bagian sebesar Rp 7,5 juta yang diterima dari Taufik (DPO).

"Selama kegiatan usaha penambangan berupa pengerukan atau pemotongan tanah, terdakwa Aguan tidak memiliki Surat Izin yang sah baik Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah," pungkasnya.

Editor: Yudha

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit