Oleh DR Muchid Albintani
TERLEPAS berasal dari serangan bom, pengalihan isu krisis dalam negeri, pelemahan Hizbullah Lebanon, bukanlah esensi penyebab ledakan dahsyat yang menelan ratusan korban, dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal di pelabuhan Beirut, ibu kota Lebanon, baru-baru ini.
Mencermati ledakan dasyat tersebut menggugah banyak kalangan untuk tidak melupakan tragedi ledakan bom atom (klasifikasi bom nuklir), 6 Agustus 1945, di Hiroshima, 75 tahun lalu. Bahkan ledakan dahsyat ini ada juga yang menyebutnya dengan Hiroshima mini.
Beraltar kedahsyatan dampaknya yang bahkan sebagai simbolisasi ancaman perang antar negara pemilik senjata (bom) nuklir yang dinilai awal mulai kehancuran dunia pertanda akhir zaman (kiamat).
Esai akhir zaman berupaya mencermat-telaahi haru-ungu kedahsyatan bom nuklir yang dijuluki sebagai Little Boy tersebut, dan hubungannya terhadap pernghargaan (hadiah) Nobel.
Belajar dari tragedi ledakan pelabuhan Beirut, Saya meyakini banyak orang terlupa (atau sengaja dilupakan) jika di akhir zaman ini istilah Nobel memiliki hubungan signifikan-kausalitas dengan Little Boy, di Hiroshima. Mengapa menghubungkan istilah Nobel dan Little Boy menjadi penting di akhir zaman?
BACA: Obelisk, Jamrah dan Ibrahim
Paling tidak, menurut hemat Saya hubungan tersebut memiliki dua titik temu utama yang saling berlawanan (anteseden). Pertama, hubungan Nobel dengan Little Boy, merefleksikan sebuah parodi kelucuan cara manusia yang pada satu sisi ingin perdamaian, sementara sisi lainnya saling menghancurkan.
Betapa tidak, Nobel adalah nama penghargaan yang diberikan oleh seseorang penemu dinamit (bahan penghancur) yang bernama Alfred Bernhard Nobel (21/10/1833-10/12/1896, 63 tahun).
Nobel adalah nama akhir yang juga merupakan nama penghargaan dari seorang kimiawan, insinyur, dan pebisnis asal Swedia. Penghargaannya meliputi Nobel Fisika, Kimia, Fisiologi atau Kedokteran, Sastra, dan tak kalah pentingnya adalah juga penghargaan Nobel Perdamaian. Penghargaan inilah yang dinilai anteseden.
Kedua, Nobel dan Little Boy merupakan representasi dikotomi karekter antar negara dalam melakukan hubungan internasional satu negeri dengan negeri yang lain. Niat baik penghargaan Nobel untuk perdamaian, sementara inheren bagi negara-negara adidaya berlomba-lomba memproduksi senjata nuklir (big boss).
Bahkan uji coba senjata (dalam wujud peluru kendali), selalu dipertontonkan secara bulgar. Uniknya negara produsen senjata, konon katanya untuk mempertahankan diri (bukan untuk memperkaya, apalagi berperang).
Padahal semangat perang-damai yang dipertontonkan negara adikuasa pemilik senjata nuklir, (dalam wujud hulu ledak peluru kendali) semata-mata bernuansa kepentingan ekonomi-bisnis.
Demi ambisi kepentingan ekonomi-bisnis negara, mustahil para produsen senjata nuklir tidak mengetahui resikonya. Bukankah sudah ada perangkat lunak (software) yang dapat digunakan melakukan simulasi resiko korban manusia yang akan terjadi jika bom nuklir meledak pada sebuah wilayah negara?
Ajaibnya, simulasi tersebut, pengalaman Hiroshima, Nagasaki yang teranyar Beirut, sejauh ini belum menjadi iktibar mereka. Justru kesannya, negara yang terbanyak senjata (hulu ledak peluru kendali) nuklirnya, identik negara yang semakin digdaya (ditakuti).
Belum yakin? Silakan tanyakan kepada tuan besar Donald Trump, Xi Jinping, Vladimir Putin, Boris Johnson, dan Emmanuel Macron, kelompok negara pemilik 'hak diskriminasi istimewa veto' (privilege) dalam oraganisasi dunia perserikatan Bansgsa-bangsa (PBB).
Pertanyaanya: maukah para tuan besar tersebut melucuti 'big boss' mereka? Wallahualam bissawab.*
Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.