ESAI ini akan menelaah hubungan Jamrah [tempat berkumpulya batu-batu kerikil akibat kegiatan melempar, melontar] dan Obelisk [tiang berbentuk tugu segi empat meruncing ke ujung, bermahkota piramida] dalam persepktif relegius-historis, simbol, dajal tentu saja di akhir zaman.
Istilah Jamrah berhubungan erat dengan ibadah haji rukun Islam ke-5. Sementara, Obelisk menempatkan posisi sebagai objek yang akan dilontar.
Istilah Jamrah dimaknai juga sebagai potongan api panas, batu kerikil. Jamrah juga menjadi nama tiga tempat khusus di tanah Mina dengan tiang-tiang batu yang telah diidentfikasi.
Secara sederhana Jamrah dimaknai menjadi tempat berkumpulnya batu-batu kerikil karena kegiatan melempar, membalang, melontar dalam ritual ibadah haji. Dalam konteks ini, terjadi hubungan integral-kausalitas [menyatu dan saling terkait] dengan Obelisk yang belum banyak menjadi perhatian untuk dicermati di penghujung zaman ini.
Esai akhir zaman berupaya memaknai esensi hubungan antara melontar Jamrah dan Obelisk yang dapat membantu memahami tiga hal penting. Pertama, Obelisk sebagai simbol Iblis. Keterhubungan antara Obelisk sebagai simbol Iblis yang selalu disamakan dengan Setan, tidak terlepas dari sejarah Adam dan Ibrahim yang menjadi landasan ibadah haji.
Konteks kekinian [akhir zaman], terletak pada simbolisasi dengan aktivitas melontar terhadap objek [sarana] yang dilontar. Melontar, melempar atau membalang adalah simbolisasi perlawanan. Oleh karena yang dibalang adalah Obelisk menjadi jelas yang dilawan adalah Iblis.
BACA: Abraham, Ibrahim dan Dajal
Dalam konteks ini yang menjadi penting adalah terkait objek yang dilontar berwujud Obelisk yang dimanifetasikan sebagai Iblis. Dalam konteks kekinian wujud Obelisk menjadi monumen utama di kawasan-kawasan penting strategis berbagai belahan negara di dunia.
Sudah menjadi infromasi umum jika keberadaan Obelisk di Washington atau New York, melambangkan supremasi ekonomi dunia [dollar Amerika]. Obelish di London, Inggris, menggelorakan kejayaan kerajaan dalam sistem pemerintahan modern. Sementara, Obelish juga ada di Paris, dan Vaticano in Saint Peter Square, Italia.
Kedua, perubahan bentuk tugu Jamrah dari 'mirip Obelisk atau identik' sebelumnya, kini diubah menjadi 'dinding penahan dan pembatas'. Urgensi diubahnya menjadi untuk dicermati. Ini disebabkan dalam konteks perubahan objek yang dilontar terkesan berbeda dalam sejarah Adam dan Ibrahim.
Pertanyaan penting dalam koteks ibadah ritualnya pada akhir zaman tentu saja: apakah yang dilontar masih Setan dalam simbolisiasi wujud Obelisk seperti yang ada di luaran? Apakah nantinya, tidak terjadi 'perselingkuhan kepalsuan' sebagaimana pusat penghitungan waktu dunia yang seharusnya kota Makkah menjadi titik tumpunya, diubah Greenwich Mean Time [GMT], London.
Ketiga, esensi perubahan tugu Jamrah ini dilatarbalakangi faktor kemaslahatan dan keamanan beribadah haji. Banyak sumber menyebutkan faktor kemaslahatan dan keamanan menjadi alasan perlunya perubahan dan penataan laokasi ibadah khususnya ketika melontar Jamrah.
Menurut hemat penulis, esensi yang wajib decermati dalam konteks akhir zaman adalah pengalihan wujud Obelisk yang direpresentasikan Iblis menjadi hanya 'tugu tembok pembatas' yang tidak ada hubungan dengan peristiwa religi di masa Adam dan Ibrahim. Apalagi Obelisk berkelid-klindan dengan simbol-simbol organisasi illuminati. Bukankah organisasi ini setali-tiga dengan Dajal?
Dajal dalam kontek akhir zaman yang dimaknai bukan lagi sebagai personal, melainkan cara berpikir yang identik dengan kepalsuan [serba palsu]. Perubahan bentuk Obelisk walaupun dengan niat kemaslahatan dan keamanan beribadah, karakter utama sebagai simbol [manifestasi] Iblis tidak boleh dihilangkan. Ini dikhwatirkan jika objeknya berubah, Iblis-Setan tidak lagi menjadi simbol perlawanan, melainkan 'teman sepermainan'.
Pertanyaannya: Apakah Jamrah yang ada saat ini masih merepresentasikan Iblis? Tepuk dada tanya selera. *
Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.
Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***