TAJUK esai akhir zaman selalunya terdiri dari hanya dua kata. Kini, tajuknya, terdiri dari tiga kata: Abraham, Ibrahim dan Dajal.
Akan menjadi dua kata, jika Abraham, dan Ibrahim adalah personal yang sama. Sementara, menjadi tiga kata jika Abraham dan Ibrahim adalah sosok yang berbeda. Pertanyaannya: apakah Abraham adalah Ibrahim?
Esai akhir zaman, tidak berupaya menjawab pertanyaan tersebut. Esai ini akan menelaah hubungan Ibrahim dan Dajal dalam persepktif relegius-historis cara berpikir yang terintegrasi, dan penyebab sumber konflik haru-biru gejolak dunia, penyebab awal mula kiamat .
Tulisan sebelumnya tentang 'Dajal Baru' [Batamtoday, 13/4/2020], menjelaskan bahwa yang dimaksud 'Dajal Baru' adalah sebuah upaya memahami keberadaan terkait 'ke-dajal-an' [segala sesuatu yang berhubungan dengan "ke-palsu-an"]. Penyelamat palsu, misalnya. Dalam banyak pengertian tentang Dajal, kepalsuan, pemalsuan, "penyimpangan" cara berpikir jarang dijadikan makna utama yang umum disampaikan.
Selama ini yang umum disampaikan jika 'Dajal dan akhir zaman', keduanya, terintegrasi, sepaket, tak dapat dipisahkan. Ikhwal akhir zaman ini: mengapa perlu diupayakan memahami hubungan Ibrahim dan Dajal?
BACA: Gaya Tawaf
Esai ini akan mengelaborasi kritis terkait cara berpikir Ibrahim ikhwal ke-tauhid-an berbanding cara Dajal. Bersandar pada konteks tauhid, cara berpikir Dajal yang dimaknai menjadi "kepalsuan" dari sisi ke-tahuid-an [ke-esaan-an] tuhan.
Perubahan cara berfikir dari percaya pada satu tuhan, berubah menjadi banyak tuhan [politeis], tiga tuhan [triteis], sehingga tak bertuhan [ateis]. Dalam konteks ini [poli-tri-atei], dimaknai syirik [membanyak, mentiga, dan bahkan meniadakan tuhan] adalah karakter cara berpikir Dajal yang dinilai berhubungan terkait 'penyelewengan' akan ke-tauhid-an [ke-esa-an] tuhan. Esensi penting mengelaborasi cara berpikir Ibrahim adalah untuk menolak cara berpikir Dajal terkait tiga persoalan utama ke-tauhid-an.
Pertama, ikhwal agama samawi. Istilah yang selalu dihubung-kaitkan dengan kota Yerusalem ini diasosiasikan dengan kota suci tempat lahirnya tiga agama samawi atau agama langit.
Cara berpikir Ibrahim menolak istilah tiga, yang seolah-olah terdapat perbedaan sumber ajaran tauhid Ibrahim. Ikhwal ajaran ini yang tak banyak disadari adalah istilah atau sebutan "semua agama sama", menjadi penolakan dalam konteks cara berpikir Ibrahim. Kalau sama, dari sumber yang sama: mengapa harus ada tiga, mengapa bukan hanya satu?
Kedua, ikhwal perbandingan agama. Mahfum dengan istlah agama samawi, memunculkan banyak studi prihal memperbandingkan agama. Istilah memperbandingkan inilah hemat saya yang ditolak cara berpikir Ibrahim.
Sederhananya, esensi memperbandingkan, paling tidak dilihat dari kesamaan. Jika kesamaan ke-tauhid-an, tidak mempersonifikasi tuhan dengan pagan atau patung, untuk apa lagi dibandingkan? Atau, bagaimana mau membadingkan?
Ketiga, ikhwal mempersekutukan tuhan [syirik]. Cara berpikir Ibrahim, tegas menolak mempersonifikasikan Tuhan melalui perantara pagan [patung]. Sumber Qurani melalui sejarah Ibrahim melawan Namrut adalah penolakan pagan sebagai identifikasi Tuhan. Inilah yang menurut cara berpikir Ibrahim disebut dengan istilah syirik [tuhan dipersonikasi dengan sebagai pagan].
Esensi berpikir Ibrahim adalah refleksi kenabian Muhammad Saw [sebagai rasul terakhir, akhir zaman] yang diutus untuk merubah sekaligus memperbaiki kerusakan ahklak kaum kafir Quraisy yang menyembah berhala [pagan]. Selama 23 tahun misi kerasulan, telah berlangsung yang disebut dengan 'Revolusi Akhlak'.
Hemat saya, inilah yang dimaksud revolusi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia: revolusi akhlak dari syirik ke tauhid. Revolusi ini merupakan refleksi kritis terhadap tiga revolusi yang digaung-gaungkan sebelumnya: revolusi industri, Prancis dan Bolshevik. Dari sini pula banyak memunculkan pertanyaan, jika ketiga revolusi tersebut ada kaitannya dengan Dajal?
Revolusi Akhlak dengan cara berpikir Ibrahim menghasilkan tesis tentang, "manusia modern". Semakin modern manusia adalah semakin bertauhid. Modern, tidak ada sangkut-puatnya dengan teknologi, kebudayaan, melainkan cara berpikir tauhid.
Sehingga cara berpikir ini akan menghasilan peradaban yang menjunjung tinggi keadilan. Tidak salah jika saya berargumen bahwa cara berpikir Ibrahim inilah yang menginspirasi esensi tiap sila dari Pancasila. Misalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pertanyaannya: Apakah saya Pancasila? Tepuk dada tanya selera.*
Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.
Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***