BATAMTODAY.COM, Batam - Menjelang larut malam di perairan perbatasan Indonesia-Singapura, Rabu (31/7/2019), aktivitas nelayan Pulau Jaloh masih berjalan seperti biasanya.
Puluhan nelayan beradu nasib melawan dinginnya angin malam, yang menusuk hingga ke tulang. Mereka masih mencari nafkah di wilayah pesisir laut.
Saat tim liputan BATAMTODAY.COM menelusuri modus penyelundupan kayu bakau (mangrove) dari Batam ke Singapura, sekitar pukul 02.20 WIB, ada pemandangan yang menarik perhatian.
Tampak satu rubber dinghy atau biasa dikenal dengan perahu karet melaju kencang menyusuri sekitar pulau-pulau di sana.
Kapal itu biasa disebut masyarakat sebagai kapal pengintai, bertugas untuk memeriksa jalur yang akan dilewati kapal pembawa kayu agar aman dari patroli keamanan laut.
Kapal pengintai ini pun disebut dikendalikan salah satu oknum aparat yang membekingi aktivitas penyelundupan kayu mangrove dari Pulau Jaloh ke perbatasan Batam-Singapura.
Sekitar 25 menit kemudian, atau pukul 02.45 WIB, kapal besar bermuatan kayu hingga 60 ton pun menampakan diri keluar dari sungai Pulau Jaloh, lokasi tempat kayu bakau dikumpulkan untuk diselundupkan.
Dengan dijaga satu boat kecil di bagian belakangnya, kapal penyelundup kayu bakau ini melewati perairan Pulau Jaloh menuju perairan Pulau Pecong. Laut di sekitar perairan itu pun seketika terang pada saat salah satu boat kecil yang menjaga kapal penyelundup ini menembakkan sinyal SOS ke udara.
Tidak tau apa artinya, namun kapal kayu ini terus melanjutkan perjalanan menuju Perairan Pulau Kasu. Pelayarannya terhenti sekitar 15 menit di daerah Kelong Betawi, wilayah perairan Pulau Pecong dan Kasu.
Tidak diketahui secara pasti, apakah hal tersebut ada kaitannya dengan tim BATAMTODAY.COM yang menghubungi bagian penindakan Bea dan Cukai Batam untuk mengamankan kapal tersebut. Namun tidak berselang lama kapal tersebut kembali berlayar menuju perairan Pemping.
Anehnya, kapal pengangkut 60 ton kayu kabau tersebut hingga saat ini belum terlihat bersandar di pelabuhan institusi penindakan keamanan laut, termasuk Bea dan Cukai --yang saat itu dihubungi BATAMTODAY.COM. Diduga kapal bermuatan puluhan ton kayu bakau tersebut berhasil atau dibiarkan lolos menuju perairan Singapura, malam itu.
Menurut sumber BATAMTODAY.COM yang tidak ingin dicantumkan namanya, aktivitas penyelundupan kayu bakau, atau yang sering disebut teki, di wilayah ini sudah berlangsung sejak tahun 2002.
"Setiap minggunya kapal-kapal pengangkut kayu ilega melakukan aktivitas penyelundupan sebanyak 2 hingga 3 kali. Kapal pengangkutnya pun selalu berbeda-beda," ungkapnya.
Penebangan kayu bakau yang sudah jelas melanggar undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, diantaranya larangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi.
Namun, seakan tidak pernah bisa ditindak atau kebal hukum, aktivitas penyelundupan dan pembalakan kayu bakau ini terus saja berjalan tanpa memikirkan dampaknya.
"Ribuan ton kayu bakau ini berhasil mereka dapatkan di sekitar wilayah Pulau Geranting, Jaloh, Pecung dan sekitarnya," tegasnya.
Hal ini pun jelas bertolak belakang dengan program pemerintah untuk melestarikan hutan mangrove. Bahkan dalam waktu dekat, Ibu Negara Iriana Joko Widodo dijadwalkan akan melaksanakan gerakan tanam mangrove, pemulihan DAS dan kampung hijau sejahtera di Batam pada bulan Agustus mendatang.
Sumber yang namanya tidak ingin dicantumkan ini juga enggan membeberkan lebih jauh nama kapal dan pelaku-pelaku yang melakoni bisnis penyelundupan kayu bakau itu.
"Kondisinya seperti itu, ada yang ditindak dan ada yang masih melenggang bebas. Seperti sudah tahu sama tahu sama pihak yang memiliki otoritas di laut," ungkapnya. (*)