BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid mengusulkan agar pimpinan lembaga negara yang terdiri dari Presiden, MPR, DPR, DPD DPD, Mahkamah Konstitusi (MK) , Komisi Yudisial (KY) RI, BPK dan Mahkamah Agung (MA) RI berkumpul , untuk berkumpul membahas putusan MK terkait pembatalan frase dalam 4 pilar bangsa yang sudah disosialisasikan selama lima tahun terakhir ini.
"Saya akan usulkan agar semua lembaga negara berkumpul dan
konsultasi membahas putusan MK menyangkut pembatalan istilah 4 pilar
bangsa itu. Sebab, kalau tidak khawatir akan terjadi kesalahpahaman
dalam pelaksanaan atau sosialisasi 4 pilar itu ke depan," tandas Farhan
Hamid dalam diskusi '4 pilar pasca putusan MK' bersama budayawan Radhar
Panca Dahana dan Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf di Gedung MPR/DPR RI
Jakarta, Senin (14/4/2014).
Menurut Farhan Hamid, awalnya istilah
4 pilar disepakati oleh fraksi-fraksi di MPR RI, dan kemudian
diamanahkan ke MPR RI dan Ketua MPR RI alm. Taufik Kiemas langsung
memutuskan menggunakan islatilah 4 pilar tersebut untuk sosialisasi
Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Jadi, bagi MPR RI berkewajiban untuk menyosialisasikan prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara itu," ujarnya.
Farhan
Hamid menilai, dalam kondisi bangsa seperti sekarang ini di mana
cita-cita bangsa ini belum tercapai khususnya kesejahteraan dan keadilan
bagi rakyat, maka merupakan jihad, perjuangan yang sungguh-sungguh bagi
semua pihak untuk terus mempelajari, memahami, mendalami, dan
mengamalkan prinsip-prinsip mendasar dalam berbangsa dan bernegara itu.
"Tapi,
MPR RI wajib mentaati putusan MK tersebut karena bersifat final dan
mengikat. Kalaupun istilah itu harus diganti, mungkin dengan sosialisasi
UUD NRI 1945, atau sosialisasi konstitusi. Karena itu, perlu
kesepahaman bersama, agar dalam pelaksanaannya tidak salah. Kita kan
tidak mau berhadapan dengan KPK," pungkasnya.
Sedangkan Ketua
PBNU Slamet Effendi Yusug mengusulkan agar istilah 4 Pilar yang telah
dibatalkan MK, diubah nama menjadi 'Bukan 4 Pilar'.
"Saya
sendiri merasa lega dengan putusan MK itu, karena frase-istilah itu
tidak konstitusional, tak ada dalam UUD NRI 1945. Saya menolak istilah
itu, karena saya ingat Orde Lama dan Orde Baru, di mana istilah yang
datang dari atasan langsung diterima dan disosialisasikan ke masyarakat.
Seperti halnya manifesto politik dan lain-lain yang kadang kita tidak
mengerti maksudnya," kata Slamet.
Untuk itu, Slamet menghargai
putusan MK tersebut agar MPR dan elit bangsa ini tidak mengulangi
penggunaan kesalahan-kesalahan istilah yang tidak perlu. Apalagi
Pancasila itu sudah ada dalam pembukaan UUD 1945.
"Jadi,
menyebut pembukaan UUD 1945 itu di dalamnya sudah ada Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan lain-lain," kata mantan politisi Partai
Golkar ini.
Sementara budayawan Radhar Panca Dahana menyatakan
heran, kenapa MK mengurusi istilah 4 pilar bangsa yang diputus
bertentangan dengan konstitusi itu.
"Bukankah istilah, frase
menjadi kewajiban pusat bahasa untuk meluruskan atau menafsirkannya?
Bangsa ini memang mempunyai persoalan terminologi bahasa, dan sebanyak
50 persen intelektual Indonesia sama, dan bahkan tidak memahami
istilah-istilah itu," kata Radhar.
Selain itu, Radhar juga heran
putusan MPR yang terdiri dari 560 anggota DPR ditambah 132 anggota DPD
itu, dibatalkan hanya oleh 9 hakim MK.
"Itu berarti terjadi
perang opini antara MK dan MPR RI. Harusnya itu tak perlu ada, karena
pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah MPR/DPR/DPD RI. Sekaligus
sebagai penafsir dan pelaksana konstitusi," katanya.
Menurut
Radhar, justru berbahaya kalau ada persoalan bangsa yang mendasar dan
substantif lalu diserahkan dan diputus oleh hanya 9 orang.
"Itu
seolah 9 orang itu sebagai orang-orang suci dan setengah dewa. Padahal,
rujukan seluruh lembaga negara dan rakyat ini adalah konstitusi.
Persoalannya, apakah seluruh institusi itu sudah mengikuti konstitusi?"
katanya mempertanyakan.
Karena itu lanjut Radhar, semua harus
dikembalikan pada proporsinya masing-masing. "Kalau tidak, maka terjadi
pengkhianatan terhadap konstitusi itu sendiri. Seperti halnya kontrak PT
Freeport dengan royalti hanya 3 persen pada perusahaan Amerika Serikat
itu. Itu kan jelas perampokan gila-gilaan dan dibiarkan oleh negara.
Konstitusionalkah yang demikian ini?" katanya lagi.
Editor : Surya