Oleh Dahlan Iskan
DI NEW YORK saya justru ingat Mbah Surip. Gara-gara James Sundah banyak menyinggung namanya.
Mbah Surip adalah contoh penyanyi dan pencipta lagu yang tidak mendapat hak-haknya sampai meninggal dunia.
Satu lagi: Dodo Zakaria. Yang salah satu lagunya, 'Di Dadaku Ada Kamu' membuatnya kena kanker sampai meninggal dunia.
Juga: Bimbo. Anda sudah terlalu hafal semua lagunya.
Di puncak kejayaan Mbah Surip itu saya lagi getol-getolnya belajar bahasa Mandarin. Banyak yang memberi tips: belajar Mandarin lebih cepat bagi orang yang suka menyanyi.
Sayangnya saya tidak bisa menyanyi.
Anda sudah tahu: saat SD dulu setiap disuruh maju untuk menyanyi saya selalu tampil dengan Gundul Gundul Pacul. Dari kelas 1 sampai kelas 6.
Ketika guru marah dan saya diminta menyanyikan Halo Halo Bandung saya nyanyikan itu dengan nada Gundul Gundul Pacul juga.
Maka dalam rangka belajar bahasa Mandarin saya sering menyanyikan lagu Mbah Surip dalam bahasa itu: ?????????
Terus saya ulang-ulang seperti Gundul Gundul Pacul. Saya tahu orang Tiongkok tidak paham apa maksud kalimat itu, tapi mereka tahu: itu lucu. Yang penting saya jadi hafal apa bahasa Mandarinnya 'saya', 'gendong' atau 'peluk', 'pergi ke mana'.
James sangat aktif memperjuangkan hak-hak penyanyi dan pencipta lagu. Ada hasilnya, banyak kecewanya. Sangat banyak halangannya. Sejak zaman Golkar sampai zaman reformasi.
Di zaman Golkar James dibenci Eddy Sud karena tidak mau dipajang sebagai artis Golkar.
Di zaman reformasi pun artis sulit diajak kompak. Sampai pun James gagal memasukkan kata 'digital' dalam UU hak cipta No 28 tahun 2014.
James aktif berjuang untuk mengegolkan UU itu. Tapi gagal memasukkan kata 'digital'. Maka betapa kunonya UU tersebut di zaman digital ini. James hafal kelakuan para politisi di sekitar itu.
Padahal James dkk ingin menggunakan UU tersebut untuk melawan pembajakan lagu. Indonesia dianggap negara barbar di soal bajak-membajak lagu.
James pernah dapat momentum: ketika lagunya Presiden SBY pun dibajak. Maka ketika bertemu SBY James mengemukakan perlunya serius merazia lagu bajakan.
Berhasil. Polisi gencar melakukan operasi pembajakan lagu. James dan para artis menyambut gembira.
Tiga bulan.
Setelah itu kumat lagi seperti sedia kala.
Dengan memasukkan kata 'digital' di UU, James ingin memonitor penggunaan lagu di tempat-tempat bisnis secara digital.
Ia sudah mendapatkan programmer software. Karya anak bangsa sendiri. Murah. Waktu itu tidak sampai Rp 1 miliar.
James gagal melakukan digitalisasi. Program itu dianggap terlalu murah.
Belakangan ia tahu: ada yang ingin memproses pengajuan anggaran di atas Rp 100 miliar. Pakai software asing. James tidak mau tanda tangan.
Dengan digital itu sebenarnya bagi hasil bisa adil. Untuk para penyanyi dan pencipta lagu. Juga adil bagi cafe, bar, karaoke, restoran, hotel lembaga bisnis lainnya.
Semua bisa dimonitor: lagu apa saja yang diputar di mana. Siapa penyanyinya. Lalu pencipta lagu dan penyanyinya dapat bagian berapa.
Tanpa digitalisasi bagaimana mungkin bisa dilakukan.
Cara manual hanya akan memberi peluang penyelewengan di segala lini. Termasuk membuka permainan antara lembaga bisnis dan lembaga yang mengurus pembayaran hak cipta.
Main taksir.
Main mata.
Lembaga yang mewakili artis itu sudah ada: LMKN. Anda sudah tahu singkatan apa itu.
James ikut aktif di kelahiran lembaga manajemen kolektif itu.
James tahu banyak apa yang terjadi di Amerika, Brasil, Eropa dan Asia. Ia memilih berkiblat ke Amerika.
Nama LMKN pun dimiripkan dengan nama lembaga serupa yang lebih dulu lahir di Amerika.
James pernah jadi wakil ketua dan kemudian ketua di LMKN. Begitu banyak pekerjaan di situ. Rumit. Ruwet. Kesal. Gemes. Jadi satu.
Lebih sulit dari menciptakan lagu Lilin Kecil maupun September Ceria. Lebih sulit dari mendesain arsitektur. Tentu lebih sulit lagi dari memasak ikan today.
Berapa jumlah artis yang mendaftar untuk dapat bagian royalti dari LMKN? Perusuh seperti Prof Pry tidak perlu tahu. Bisa naik darah: 15.000 orang. Mulai dangdut sampai kolintang. Rock sampai kuda kepang.
Yang sulit: semua merasa berhak mendapat bagian yang besar. Lalu bagaimana cara membaginya --kalau tidak ada digitalisasi.
Di zaman James, LMKN pernah mampu mengumpulkan royalti kolektif di atas Rp 100 miliar. Tapi apa artinya dibagi untuk 15.000 artis.
"Kalau mau jujur separo nilai itu akan jatuh ke Bang Haji," ujar James. Tebak sendiri siapa yang dimaksud Bang Haji.
Pendapatnya seperti itulah yang dipakai James untuk meredam gejolak para 'gede rasa'.
James pernah dilaporkan pidana oleh penyanyi lokal dari Manado. Penyanyi tersebut datang membawa polisi. Bagian yang diminta: Rp 5 miliar.
James menghadapinya dengan santai. Ia memberitahu senyatanya berapa bagian James: hanya ratusan juta. Kalau penyanyi lokal itu minta Rp 5 miliar harusnya James dapat Rp 1 triliun.
James senang perkara itu selesai. Lebih senang lagi ia bisa membuat penegak hukum tidak mudah menerima aduan --apalagi tergiur janji kalau berhasil bisa dibagi dua.
Saya lihat James ini salah satu artis inteleltual. Saya lupa kalau James memang seorang insinyur-arsitek. Lebih dari itu. Ia inteleltual dengan literatur yang luas. Buku bacaannya kelas berat. Sampai teori Darwin.
Hubungan internasionalnya juga luas. Terutama di bidang musik.
Ia tahu: bagian royalti pencipta lagu Kantonis lebih besar dari penyanyi. Sedang penyanyi lagu Mandarin dapat bagian lebih besar dari penciptanya. Syair lagu-lagu Kanton dinilai lebih indah dari Mandarin.
Penghasilan James sendiri, dari hak cipta, lebih besar ia dapatkan dari Amerika daripada dari Indonesia.
"Kalau di Amerika Mbah Surip itu sudah bisa beli lima helikopter", kata James.
Dengan lima helikopter Mbah Surip bisa pergi ke mana-mana. Bisa ?????.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia