Oleh Dahlan Iskan
SIAPA yang mengeluarkan izin praktik seorang dokter? Ternyata mudah sekali: instansi pemerintah di kabupaten/kota. Yakni, dinas kesehatan setempat.
Hanya, syaratnya harus ada rekomendasi dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setempat. Untuk mendapat rekomendasi itu, dokter harus menjadi anggota IDI.
Maka, kuat sekali ikatan antara dokter dan IDI, aorta seorang dokter di tangan IDI.
Maka, meski kata 'rekomendasi' itu artinya hanya 'saran penguat', dinas kesehatan tidak berani mengeluarkan izin tanpa rekomendasi tersebut. Rekomendasi sudah sejajar dengan izin.
Siapa yang mengharuskan rekomendasi itu? Undang Undang kesehatan? Peraturan Menteri Kesehatan? Atau apa?
Dari lima dokter 'biasa' yang saya hubungi, tidak ada yang bisa menjawab. Artinya: keharusan rekomendasi sudah dianggap sebagai jalan hidup. Sejak dulu. Sampai sekarang.
Lalu, saya tanya dokter yang lebih punya nama. Ia memastikan keharusan itu bukan berdasar UU. Lalu, ia mengirimi saya kopi Peraturan Menteri Kesehatan. Tahun 2007. Yang ditandatangani Prof Dr Siti Fadilah.
Poin 9 menyebutkan perlunya rekomendasi itu, tapi tidak menyebut kata IDI. Di situ tertulis 'organisasi profesi dokter'. Tapi, karena IDI adalah satu-satunya organisasi profesi dokter, jadilah barang itu.
IDI berdiri pada 1950. Kini anggotanya sudah lebih dari 120.000 orang, lebih 45.000 di antaranya spesialis.
Lalu, siapa yang bisa mencabut izin praktik seorang dokter?
"Kanwil dinas kesehatan provinsi," ujar seorang dokter. "Atas rekomendasi majelis etik dokter," tambahnya.
Jadi, sepanjang Kanwil Kemenkes DKI Jakarta tidak mencabut izin praktik dokter Terawan, ia masih bisa berpraktik. Kita tunggu apakah majelis etik IDI akan minta Dinas Kesehatan DKI untuk mencabut izin Terawan.
Tanpa dicabut pun, Terawan tidak akan bisa praktik. Tidak lama lagi. Izin praktik seorang dokter hanya berlaku lima tahun. Setelah itu, harus mengurus perpanjangan. Berarti, harus minta rekomendasi IDI setempat lagi --apakah Terawan mau. Dan apakah bisa dapat.
Saya tidak tahu: apakah organisasi spesialis juga dianggap organisasi profesi. Atau semata-mata seperti badan otonom di dalam IDI. Misalnya, ikatan dokter jantung, persatuan dokter ginjal, himpunan dokter paru, paguyuban dokter bedah, obgyn, dan banyak lainnya.
IDI memang sangat solid, tidak pernah pecah.
Di zaman Orde Baru, semua organisasi dilarang pecah. Pemerintah selalu hanya mengakui satu organisasi --pun seandainya yang satu itu bukan yang benar. Itu sebagai cara pemerintah untuk mengooptasi ormas. Agar bisa dipakai --misalnya-- untuk deklarasi kebulatan tekad.
Setelah reformasi, pemerintah tidak boleh bersikap seperti itu lagi: dianggap intervensi dalam proses demokrasi. Hak semua warga negara untuk berkumpul, berserikat, berbicara, dan bersuara. Sejak itu hampir semua organisasi punya kembarannya. Kecuali IDI. Ups, ada satu lagi: INI (Ikatan Notaris Indonesia). Tanpa rekomendasi INI --seorang notaris tidak bisa buka kantor notaris.
Setelah reformasi, banyak juga yang membuat organisasi profesi sejenis dengan maksud semata-mata untuk 'mata pencaharian' --sampai mengorbankan kode etik. Akibatnya: penegakan kode etik menjadi sangat sulit. Bahkan, ada yang tidak punya kode etik sama sekali: bagaimana bisa menamakan diri sebagai organisasi profesi tapi tidak punya kode etik.
Maka, belum tentu banyak organisasi bisa lebih baik.
Itu di profesi wartawan. Di pengacara juga begitu.
Untunglah, masih ada organisasi profesi wartawan dan pengacara yang baik, yang peduli pada kualitas dan penegakan kode etik.
Di pengacara, masih ada organisasi pengacara yang mengharuskan calon anggotanya untuk menjalani tes. Biarpun ia sudah sarjana hukum. Lalu, ada keharusan magang. Paling tidak dua tahun: di kantor pengacara. Bukan magang biasa, tapi magang beracara di pengadilan.
Setelah itu, barulah organisasi --seperti Ikadin, Peradi, dan beberapa lagi mengeluarkan kartu anggota.
Dengan mengantongi kartu anggota itu, mereka bisa mendaftar ke pengadilan tinggi setempat: untuk disumpah.
Tidak ada izin praktik. Yang ada pengucapan sumpah itu. Pengadilan tidak akan menerima pengacara yang belum pernah disumpah di pengadilan tinggi (tingkat provinsi).
Di IDI, keharusan rekomendasi itu, saya kira, untuk 'menjamin' dokter tersebut memenuhi kualifikasi sebagai dokter. Tapi, terutama, agar dokter mau mengikatkan diri pada kode etik. Lalu, mau untuk diawasi.
Kode etik (sesuai dengan namanya) bukanlah UU, peraturan, atau pasal-pasal dalam hukum. Kode etik adalah etika, sopan santun.
Orang di luar IDI --atau di luar anggota organisasi profesi apa pun-- tidak boleh mengenakan ukuran sopan santun kepada mereka. Sopan menurut A belum tentu santun untuk B.
Karena itu, kode etik harus lahir dari kesadaran orang yang berprofesi. Lalu, merumuskan kesadaran tersebut secara tertulis: menjadi kode etik. Untuk ditaati semua anggotanya.
Kenapa seseorang yang berprofesi perlu punya kesadaran beretika? Kenapa tidak cukup hanya taat pada hukum dan peraturan?
Karena ini: seseorang yang berprofesi adalah orang yang punya otonomi pribadi untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan. Ia harus melakukannya biarpun dilarang oleh siapa pun --termasuk atasan. Sebaliknya, ia tidak mau melakukan tindakan itu biarpun diperintah atau dipaksa.
Orang yang mempunyai otonomi seperti itu cenderung 'maunya sendiri' --dan itu terbentuk dalam jiwa dan bawah sadar mereka. Kode etik adalah 'pagar diri'. Orang yang mengutamakan profesi akan menempatkan kode etik di atas UU dan peraturan.
Maka, IDI sebaiknya membuka saja: etika mana yang dilanggar Terawan. Kita yang di luar IDI tidak boleh ikut-ikutan. Kita sudah terlalu jauh: sampai ada yang mengaitkan IDI dengan MUI, kadrun, dan sebangsanya --menjadi isu politik, ideologi, bahkan SARA. Kita hanya akan menilai dalam hati: IDI fair atau tidak.
Tanpa penjelasan itu, kita tidak tahu: kode etik mana yang dilanggar berat oleh Terawan. Terkait praktik cuci otak? Atau Naksin Nusantara? Atau dua-duanya?
Dalam dua hal itu, Terawan bukanlah penemu ilmunya. Soal cuci otak, Terawan belajar ilmu itu secara khusus di California, Amerika Serikat. Yakni, kepada seorang profesor yang menemukan metode cuci otak di sana. Lalu, ia bawa ke Indonesia.
Awalnya, ketika ada seorang menteri menderita stroke, Terawan belum berani menangani sendiri. Ia ajak sang menteri ke California. Ditangani profesornya di sana. Di periode Presiden SBY berikutnya, ia jadi menteri lagi: Sudi Silalahi.
Terawan belajar lagi ilmu lain: cell cure. Di Jerman. Ke seorang profesor Jerman. Di sana cell cure dipraktikkan --semacam stem cell. Ilmu itu ia bawa pulang. Ia praktikkan di Jakarta: cell cure.
Lalu, ia dapat ilmu lagi: cell dendritik. Yang juga dilahirkan dan dipraktikkan seorang profesor di Amerika Serikat. Ia bawa pula ke Indonesia: jadi Vaksin Nusantara.
Yang mana yang dilanggar Terawan? Cuci otak? Cell cure? Atau VakNus? Atau ketiga-tiganya?
Saya tetap salut kepada dokter. Pendidikannya begitu panjang. Yang lulusnya tidak mudah. Juga, harus 'magang' lama di rumah sakit. Begitu lulus, harus mengucapkan sumpah dokter. Lalu, harus mendaftarkan diri ke KKI (Konsil Kedokteran Indonesia).
Barulah ia mendapat STR (surat tanda registrasi): bahwa ia sudah terdaftar sebagai dokter Indonesia. Dengan STR itu, ia minta izin praktik ke dinas kesehatan setempat. Dengan melampirkan ijazah, sumpah dokter, STR, dan rekomendasi IDI setempat yang berarti harus menjadi anggota IDI.
Saat menjadi anggota IDI itulah, ia harus mengikatkan diri untuk taat pada kode etik dokter.
Syukurlah, masih banyak yang ingin jadi dokter.*
Penulis adalah wartawan senior