BATAMTODAY.COM, Jakarta - Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mensinyalir adanya praktik oligarki di balik kenaikan harga minyak goreng yang sekarang terjadi di hampir seluruh di Indonesia.
Untuk diketahui, Belakangan ini harga minyak goreng di pasaran melonjak drastis. Di beberapa wilayah, harga minyak goreng sampai menyentuh Rp 20.000 per liter, padahal sebelumnya harganya hanya sekira Rp 11.000 hingga Rp 13.000 per liter.
Tingginya harga minyak goreng tersebut dipicu oleh kenaikan harga kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil) di pasar internasional, sehingga para pengusaha sawit menggunakan kesempatan itu untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Wakil Ketua Umum PRIMA Bidang Kesejahteraan Rakyat, Wahida Baharuddin Upa, mengungkapkan, kebijakan menaikkan harga minyak goreng yang disesuaikan dengan harga kelapa sawit di pasar internasional merupakan bagian dari praktik kartel. Para pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar meski pasokan bahan bakunya masih melimpah.
"Sepanjang tahun 2021 saja produksi kelapa sawit mencapai 46,88 juta ton. Bahkan, bisa dibilang Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia," ungkap dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/1/2022).
Wahida menjelaskan, sebagian besar produksi kelapa sawit nasional juga diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2021 kemarin, volume ekspor CPO mencapai 34,2 juta ton.
"Artinya, 72,9 persen produksi CPO nasional di bawa ke luar negeri," kata perempuan yang juga Ketua Umum Serikat Rakyat Mandiri Indonesia (SRMI) itu.
Tidak hanya itu, lanjut Wahida, saat ini setidaknya 40 persen pangsa pasar minyak goreng Indonesia dikuasai oleh 4 perusahaan besar. Mereka juga merupakan konglomerat penguasa sawit yang memiliki usaha perkebunan sekaligus industri pengolahan produk turunan seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.
"Ini berarti, sektor perkebunan kelapa sawit dan produksi turunannya seperti minyak goreng hanya dikuasai dan dikontrol oleh segelintir orang," tukasnya.
Ia juga menyoroti upaya pemberian subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, kebijakan itu sebenarnya hanya menyentuh permukaan saja, tanpa merubah inti persoalan. Pemerintah juga telah masuk dalam jerat praktik oligarki yang dilakukan oleh sekelompok konglomerat super kaya.
"Subsidi seolah-olah untuk kepentingan rakyat, kenyataannya, yang untung lagi-lagi adalah para produsen besar minyak goreng," paparnya.
Memang benar, dalam upaya untuk menekan tingginya harga minyak goreng, pemerintah menggelontorkan subsidi harga mencapai Rp 3,6 triliun melalui perusahaan minyak goreng. Pemerintah melibatkan 70 industri minyak goreng dan ditahap awal, setidaknya terdapat sekira 5 industri yang akan menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana.
Oleh sebab itu, Wahida mendorong kepada pemerintah untuk merombak seluruh pengaturan dari hulu sampai hilir. Dari sektor hulu, perkebunan kelapa sawit harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, selain itu pemerintah juga harus menghidupkan kembali perkebunan-perkebunan rakyat.
Sementara untuk sektor hilir, pemerintah sudah seharusnya mulai menghidupkan kembali pengelolaan usaha yang dilakukan secara mandiri oleh rakyat dalam bentuk koperasi atau badan usaha lain.
"Tentu saja dengan modernisasi manajerialnya. Sehingga kelompok usaha rakyat ini bisa melawan dominasi para kartel yang menguasai pasar," pungkasnya.
Editor: Yudha