Oleh: Devitriana
Di tengah isu peningkatan proses vaksinasi dan pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi covid-19, wacana masa jabatan presiden tiga periode kembali menjadi perbincangan publik.
Isu tersebut mencuat setelah dilontarkan kembali oleh politikus senior Amien Rais. Mantan ketua MPR ini curiga akan ada skenario mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 soal masa jabatan presiden dua periode menjadi tiga periode.
Menurut Amien, adanya upaya untuk meloloskan wacana itu. Skenario yang disusun untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode adalah dengan menggelar sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengubah atau mengamandemen UUD 1945. Amien menangkap adanya sinyal politik terkait skenario yang tengah dilakukan sejumlah pihak untuk melakukan hal tersebut.
Isu ini kian kencang setelah munculnya para relawan yang mengatasnamakan diri sebagai relawan Jokowi-Prabowo (Jokpro). Dengan misi mengubah amandemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden yang hanya dua periode, Jokpro sudah bertekad akan mendeklarasikan dukungan dalam waktu kurang dari setengah tahun ke depan.
Banyak yang menuding gagasan Jokpro 2024 sudah melanggar aturan. Karena jelas-jelas berdasarkan undang-undang masa jabatan presiden hanya bisa terpilih kembali selama dua periode.
Semetara, pimpinan MPR saat ini memastikan tidak ada rencana atau usulan perubahan masa jabatan presiden maupun menggelar sidang istimewa untuk hal tersebut.
Mendengar isu tersebut, presiden Joko Widodo bersikap sama seperti sebelumnya, beliau kembali membantah isu tersebut. Dalam konferensi pers yang dilakukan presiden Joko Widodo pada 15 maret 2021, beliau mengungkapkan bahwa tidak ada niatan dan minat untuk menjadi presiden tiga periode.
Ia curiga ada pihak yang mengusulkan wacana tersebut itu dengan sengaja untuk
menjerumuskannya. Jokowi sejak awal menegaskan, bahwa dirinya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi.
Dengan demikian, saat ada wacana untuk mengamandemen UUD 1945, Jokowi sudah menekankan agar tak melebar dari persoalan haluan negara. Jokowi mengaku telah berulang kali menyampaikan penolakan terhadap usulan perpanjangan
masa jabatan presiden.
Sikap ini tidak akan berubah sebagaimana bunyi konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945, masa jabatan presiden dibatasi dua periode saja. Ia pun meminta tidak ada pihak yang membuat kegaduhan baru ditengah penanganan pandemi covid-19 ini.
Terkait hal masa jabatan presiden di Indonesia diatur dalam pasal 7 UUD NRI 1945 yang berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode saja.
Meski begitu, wacana masa jabatan presiden tiga periode ini penting untuk disorot. Lantas, apakah menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode adalah langkah yang tepat?
Merujuk pada zaman orde lama dan orde baru, Indonesia pernah memiliki pengalaman yang kurang baik akibat masa jabatan presiden yang panjang atau tidak dibatasi. Terlalu lama berkuasa berpotensi membawa pada watak kekuasaan absolut yang rentan terjadinya penyimpangan kekuasan seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Untuk itu tidak ada urgensi melakukan Amandemen UUD 1945 untuk menambah masa jabatan presiden.
Pembatasan masa jabatan presiden adalah amanat reformasi 1998 yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh mahasiswa dan segenap komponen bangsa yang lain.
Munculnya pergerakan reformasi karena perlawanan atas praktek kekuasaan orde baru yang menjadikan presiden berkuasa dalam periode yang tidak dibatasi sehingga memunculkan oligarki, tirani, dan otorianisme. Oleh sebab itu wacana ini tentu sudah tidak sesuai dengan tujuan reformasi yang membatasi masa jabatan presiden yaitu dua periode.
Berkembangnya wacana masa jabatan presiden tiga periode, sekali lagi sebagai bagian kebebasan berpikir dan harus dihormati. Namun ketika sudah masuk pada tataran mewujudkan kebebasan berekspresi, maka perlu disikapi untuk tidak menjadi pembohong diluar konstitusi negara.
Wacana masa jabatan presiden tiga periode juga dinilai merusak tatanan demokrasi Indonesia. Pasca reformasi, demokrasi Indonesia sudah tingkat bagus. Di mana presiden menjabat maksimal cukup dua periode saja.
Wacana ini menimbulkan kegaduhan ditengah publik. Efek yang dihasilkan dapat menjadi lebih merusak dalam situasi pandemi covid-19 saat ini.
Wacana masa jabatan tiga periode ini tentu saja dapat banyak penolakan dari rakyat. Situasi bisa memanas dengan cepat, dan perpecahan tidak dapat dihindarkan. Padahal, saat ini pemerintah tengah berupaya menyatukan daya semua pihak agar fokus pada penanggulangan wabah virus corona.
Kedaruratan menangani pandemi pula membuat pemerintah dengan tegas menolak rencana untuk merevisi Undang-Undang Pemilu. Hal-hal yang kontraproduktif perlu dihindari karena ada yang jauh lebih mendesak, yakni memenangi perang melawan covid-19.
Sungguh keterlaluan jika masih ada pihak yang tidak tahu malu, menggoreng isu sesaat demi meraih kekuasaan. Ingat, program vaksinasi covid-19 masih membutuhkan daya dorong agar mampu segera teratasi.
Mari hentikan wacana yang tidak perlu dan hanya membuat kegaduhan. Biarkan kepemimpinan nasional berjalan sesuai dengan konstitusi, tapi pandemi covid-19 jangan sampai diwariskan.
Jangan lengah terhadap pandemonium covid-19 hanya karena isu sesat. Sebuah pemerintahan akan dikenang karena kebijakannya yang sangat bermanfaat. (*)
Penulis merupakan mahasiswi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang Jurusan Administrasi Public.