Oleh Aldia Putra
ORGANISASI radikal terus bergerilya walau statusnya telah dibubarkan. Mereka menggunakan media sosial untuk mencari mangsa baru. Untuk melawan propaganda ormas radikal, maka di media sosial perlu dilakukan literasi nilai pancasila. Tujuannya agar netizen tidak teracuni oleh radikalisme dan persatuan Indonesia tetap utuh.
Masyarakat kita menggunakan media sosial tiap hari, bahkan netizen Indonesia diklaim sebagai pengguna Facebook nomor 3 sedunia. Namun sayangnya, selain untuk menambah teman dan networking, ada bahaya yang mengintai di medsos, yakni hoax dan propaganda. Jika tidak berhati-hati, maka bisa terjebak dan terbujuk dalam rayuan radikalisme.
Organisasi radikal sejak beberapa tahun lalu melakukan propaganda di mana saja, dan mereka memilih media sosial karena penggunanya beragam. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa. Sasaran mereka adalah netizen yang terlalu mudah percaya hoax, sehingga tidak tahu bahwa yang dibaca adalah berita palsu yang merupakan propaganda kelompok radikal.
Organisasi radikal menggunakan isu terkini untuk propaganda agar pendukungnya bertambah. Saat pandemi covid-19 baru dimulai, maka ada kabar berembus bahwa penyakit itu buatan negara komunis, karena berasal dari Wuhan. Apalagi ketika pemerintah membeli vaksin Sinovac yang buatan RRC, mereka langsung mengklaim haram, padahal MUI sudah menjamin kehalalannya.
Selain itu, organisasi radikal juga selalu mengunggulkan konsep negara khilafah agar Indonesia maju. Padahal justru khilafah yang akan menghancurkan negeri ini, karena mereka akan mengganti pancasila sebagai dasar negara. Ideologi khilafah tidak cocok dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan memiliki 6 kepercayaan yang berbeda.
Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Murodi, M.Ag menyatakan bahwa jika ada orang yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan yang lain, maka mereka bukan WNI, dan silakan keluar dari NKRI. Pernyataan ini menegaskan pancasila adalah dasar negara. Tak ada yang boleh mengubahnya, karena akan menghianati perjuangan plokamator negara.
Untuk melawan propaganda ormas radikal di media sosial, maka perlu dilakukan beberapa cara. Pertama, ketika ada konten radikal, langsung laporkan saja ke Instagram atau Facebook. Jika ada akun yang beramai-ramai melaporkan, karena akun radikal membuat status hate speech atau menyebar hoax, maka bisa diblokir. Kita bisa juga lapor pada akun polisi siber.
Kedua, perlu ada konten di media sosial yang mengajak netizen untuk melek literasi pancasila, jadi tak hanya menghafalkan 5 silanya. Literasi pancasila adalah gerakan untuk memberi pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai pancasila. Sehingga bisa mengamalkan dan melestarikan pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari gerakan ini adalah membuat lomba konten grafis bertema pancasila dan nasionalisme, yang diadakan di Instagram dan Facebook. Karena banyak anak muda Indonesia yang menggunakan 2 media sosial ini. Nanti kontennya bisa di-share sehingga makin banyak netizen yang paham akan penerapan pancasila dan mempertebal rasa nasionalisme.
Selain itu, kampanye literasi pancasila juga bisa melalui hashtag misalnya #kitaindonesiakitapancasila #cintapancasila , dan lain-lain. Netizen akan senang dan membuat status dengan tagar tersebut, yang berisi tentang ajaran untuk mencintai pancasila. Karena pancasila bukan hanya ada dalam buku pelajaran, namun wajib diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi pancasila di media sosial perlu dilakukan bersama-sama agar makin kompak. Netizen akan menepis serangan konten radikal, karena yang sedang trending di Twitter, Instagram, dan Facebook adalah konten cinta pancasila. Kita juga bisa mengedukasi orang lain untuk mengecek berita di medsos, agar mereka tak terebak hoax dan terpedaya oleh propaganda radikalisme.*
Penulis adalah pengamat sosial bermestautin di Padang