Oleh DR Muchid Albintani
DAPATKAH syirik di teorikan? Atau bolehkah syirik diteorikan? Sebagaimana lazimnya sebuah teori, sejarah kemunculannya yang dipersoalkan justru bukan ihwal kebenaran maupun kerelevansian kemanfaatannya, tetapi justru terkadang dari perasaan keputusasaan.
Rasa prustasi-putusasa sebagai dampak perisitiwa nyata (kematian keluarga, anak, istri, ayah, ibu dan lainnya) yang tidak dikehendaki (menolak realitas, taqdir) diri juga dapat menghasilkan atau mengispirasi kehadiran sebuah teori.
Istilah (teori) Evolusi adalah yang paling umum sebagai analogi sederhana. Sebuah analogi menjadi penting yang kegunaanya untuk memudahkan penjelasan walaupun ada resiko, jika salah dapat menyesatkan. Dalam hubungan ini teori evolusi yang mendasari manusia menjadi ateis. Atau Teori Evolusi adalah peletak dasar yang membuat manusia tidak mempercayai 'keberadaan tuhan' adalah yang penting.
Teori Evolusi merepresentasi jika kemenangan aqal (rasio) melawan iman (supra rasio). Inilah analogi sederhana sebagai perumpamaan hubungan "dunia perdukunan dengan dunia ghaib".
Sederhanya hubungan dukun sebagai pelaku (aktor) dengan makhluk ghaib yang selalu disebut dengan Jin. Sehingga yang mengemuka justru persekongkolan (konspirasi) yang umum disebut makhluk ghaib Azazil, nama populer dari Iblis.
Berupaya menghubungkan ketakberdayaan aqal memahami fenomena Jin sebagai mahkluk ghaib, dinilai akan sangat mudah nantinya dengan kehadiran institusi yang bernama Perdanu, singkatan Persatuan Dukun Nusantara.
Kehadiran organisasi ini, benar tidak harus ditanggapi dengan negatif. Namun, paling tidak berbagai ragam respon yang mengemuka dalam pemberitaan media, khusunya dari organisasi keagaman (Islam), menjadi penting ditelaah-cermati.
Mencermati sekaligus mengamati pemberitaan tersebut, esai akhir zaman mengulasnya perlu menyandingkan dua istilah antara Syirik-isme versus Ahad-isme. Mengulas dan menyandingkan dimaksudkan sebagai klarifikasi betapa pentingnya hubungan kedua istilah tersebut dengan kebangkitan 'perdukunan', khususnya yang berhubungan dengan dunia ghaib.
BACA JUGA: Waqaf vs Su'udzan
Dalam konteks hubungan inilah yang boleh jadi, belum banyak menjadi perhatian serta pembahasan terkait dan klasifikasi Syirik. Istilah syirik dimaknai umum adalah mempersonifikasi sekaligus menyekutukan [mendua, mentiga atau menihilkan kebaradaan tuhan yang Ahad]. Secara sederhana, Syirik mengandung esensi persekutuan yang berlawanan dengan istilah Ahad [ke-Tauhid-an].
Dalam konteks kekinian, paling tidak terdapat tiga klasifikasi istilah Syirik. Pertama, istilah syirik yang esensi berdasar sumber Qurani ikhwal: Maha Ahad, tidak beranak, tidak menyerupai apalagi diserupai dengan makhluk [dalam format pagan, patung atau gambar].
Esensi istilah syirik tentu saja pijakannya bersandarkan argumentasi sebagai upaya meluruskan terhadap orang-orang yang meyakini dalam proporsi "tuhan sebagai anak, bapak dan tuhan itu sendiri". Meluruskan dapat dimaknai memperjelas sekaligus koreksi dan respon bahwa kayakinan tersebut tidak sejalan dengan ke-Ahad-an.
Kedua, klasifikasi Syirik di antaranya yang utama adalah keterhubungan dengan berbagai paham, yakni ateisme, yang menihilkan keberadaan tuhan. Politeisme paham yang dimaknai meyakini banyak tuhan. Triteisme paham yang mempersonifikasi tiga wujud, atau karakter tuhan.
Ketiga, klasifikasi mempercayai yang ghaib selain yang Maha Ghaib dalam konteks memohon pertolongan. Menggunakan makhluk ghaib, Jin misalnya sebagai perantara untuk pengobatan, pesugihan, mencenderai orang, meraih kekuasaan, dan lainnya adalah bagian dari syirik yang terlupakan.
Esensi terlupakan dapat dimaknai sebagai unsur kesengajaan pengalihan seolah-olah bagian dari ritual keagamaan (praktik spiritual). Yang berbahaya adalah memanfaat-gunakan institusi keagamaan sekaligus mempraktikan ritual 'perdukunan modern' yang endingnya mendapat imbalan materi.
Menelaah-cermati dalam konteks milenial akhir zaman ihwal "pengabsahan perdukunan" apapun argumentasinya melalui "pendekatan persyrikan" (istilah lain Teori Syirik), dapat disikapi berdasarkan minimal dengan tiga pengklasifikasian.
(1). Menolak-Bertauhid. Sikap ini diargumentasikan hubungan dukun dengan dunia lain (sering disebut dengan dunia ghaib), selain malaikat adalah pasti Jin. Oleh karena itu wajib ditolak dengan tegas. Apapun argumentasinya. Personifikasi dalam perspektif ghaib bentuk dari makhluq di luar manusia lebih otentik-orisinal adalah modus dari kebohongan. Itulah sebabnya wajib ditolak dengan tegas.
(2). Bersyubahat-Bercampur-aduk. Realitas yang susah untuk dibantah manakala institusi keagamaan digunakan untuk mempraktikan ritual perdukunan atas nama amalan spiritual. Yang pemahaman awam pun menjadi lumrah jika ritual ini tidak terlepas dari upaya menghasilkan materi-pendapatan. Jualan praktik spiritual atas nama materi dengan media Jin sungguhnya bermufakatan jahat.
(3). Lemah-Turut serta. Terlibat langsung bekerja sama dengan Jin melalui praktik "perdukunan-spritual" inilah yang sekarang banyak dilakukan. Kehadiran iklan-iklan penawaran jasa berbagai kegiatan dus "kemampuan spiritual", tidak dapat disangkal jika praktik perdukunan sampai akhir zaman mustahil ditinggalkan.
Kebaradaan yang disebut dengan Paranomal (orang setengah normal) menjadi bukti jika perdukunan adalah bagian dari syirik yang nyata.
Belajar dari fenomena kebangkitan dukun melalui Perdanu menjadi referensi sangat berharga jika Syirikis-me dan Ahadis-me akan selalu berkompetisi sampai akhir zaman [kiamat].
Sebagai ummat [manusia] beriman Islam yang akan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan, tidak ada pilihan lain, kecuali "berjihad" untuk tidak menjadi "Lemah-Turut serta" yang terafiliasi pada perbuatan syritik (Syirik-isme).
Adapun harapan kalangan internal jika kehadiran Perdanu ini dapat menginspirasi menghilangkan dukun yang abal-abal, menjadi pelurus tauhid para ahli spiritual di Nusantara dan kebaikan lainnya, tidak salah. Ditambah harapan penting kehadiran kelembagaan Perdanu dapat menjadi sarana dakwah untuk syiar agama.
Pertanyaannya: Apakah dukun tetap dapat tumbuh dalam wajah berbeda sesuai harapan di tengah umat yang hidup dengan pola "tawasul-hedonis"?
Wallahu'alam bissawab. ***
Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.