Oleh DR Muchid Albintani
SALAH satu konsep utama dalam sistem sosial ekonomi Islam belakangan ini heboh diperbincang-diskusikan. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, tentu menggembira-bahagiakan.
Namun, sejuta sayang, sambutan masyarakat yang mengemuka justru berbalik-depan (terkesan su'udzan) terhadap gerakan nasional yang digelorakan pemerintah.
Wakaf versus Su'udzan begitulah tajuk esai akhir zaman ini dikemukakan. Wakaf dilawan-sandingkan dengan perasaan su'udzan (buruk sangka, seolah-olah menolak), hemat Saya menjadi sesuatu yang amat sangat luar biasa berbalik-depan (istilah yang sering digunakan bertolak belakang).
Betapa tidak, berita trending semingguan ini tidak hanya di medsos, media online, media cetak pun yang jumlahnya kian terbatas dikesankan seirama. Idealnya kedua konsep ini yang seharusnya berkontinuitas-sinergi, justru mental berbalik menjadi seolah-olah berlawan-tanding. Begitulah respon kebanyakan masyarakat di negeri ini.
Mengapa gerakan nasinoal yang digagas oleh pemerintah dengan jumlah penduduk mayoritas muslim "seolah-olah mendapat penolakan?" Berupaya menjawabnya dengan menggunakan pendekatan "buruk sangka" alias respon negatif, esai akhir zaman mendekatinya bersandarkan dengan tiga sudut pandang.
(i). Kuffur Nikmat (enggan bersyukur). Seolah-olah penolakan gerakan dimaknai menjadi bangsa yang enggan bersyukur. Tanda tanya besar jika gerakan ini ditanggapi dengan buruk sangka antara sesama anak bangsa yang muslim. Sebagai intropeksi diri yang tak lazim seperti pakaian yang dikenakan oleh seorang menteri yang di luar dari kebiasaan.
Pakaian bernuansa islami niatnya tentu saja agar dinilai menjadi daya tarik. Yang aneh justru direspon dengan buruk sangka lagi. Sementara keburuksangkaan, direspon balik oleh buruk sangka lainnya. Yang mengedepan bukan justru kemanfaatan wakaf, melainkan saling berbalas sangka yang buruk. Sungguh aneh!?
Realitas pertelingkahan sesama anak bangsa bernuansa saling memburuk-sangka, bukan tidak ada penyebabnya. Sederhananya persoalannya bersumber karena menjadi bangsa yang tidak pandai bersyukur. Yang paling nyata tentu saja melalui sumberdaya alam yang dimiliki.
Mental 'Terabasbuna' yang berkaitan karakter yang diendus secara terus-menerus oleh sistem kapital dunia dengan semangat, 'modal sekecil-kecilnya, sementara untung sebesar-besarnya bernaung di alam bawah sadar. Sikap hedonis adalah tindak-lanjut dari konsekuensi "Mental Terabasbuna" yang tak mengenal halal-haram.
Yang penting modal kecil untung besar. Modal kertas selembar dengan kekuasaan yang dimiliki terbitlah beragam tidak hanya 'izin, kesepakatan, deal-deal semua bisnis yang penting upetinya [izin berkonsekuensi rente], misalnya.
Sehingga secara keberlanjutan mengkristal menjadi prilaku hedonis [ubud dunia] dengan bermewah-mewah. Pola bermewah-mewah menghasilkan karakter yang konsumeris ini adalah produk dari "Mental Terabasbuna". Yang pada akhirnya merefleksikan menjadi bangsa 'kuffur nikmat', enggan bersyukur.
Kemudian tak perlu menuggu datanglah Azab yang mempersonifikasikan kehancuran dan keruntuhan negeri ini. Respon negatif wakaf adalah refleksi dari bangsa yang 'kuffur nikmat', enggan bersyukur.
Berlandas pada keengganan bersyukur itulah menyebabkan bala-bencana selalu mengancam di hadapan yang kapan saja dapat menghampiri. Dalam kuffur nikmat ini apapun yang dihasilkan merupakan refleksi dari keseluruhan prilaku bangsanya.
(ii). Kekuatan Struktural Non-negara. Efek langsung penolakan dari sisi lain yang banyak dilupakan, terlupakan atau tak terlacak secara kasat mata adalah lakon lain (mewakili kelompok) yang menopang pada struktur negara, tetapi dilakukan secara non negara.
Sudah lumrah, seperti banyak orang sering mengatakan dengan 'operasi kecerdasan pola lama'. Tata lakon ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya tetap saja menjadi pemukul efektif mendegradasi mental orang dan atau kelompok berbeda.
Pola lama dengan membenturkan sesama anak bangsa sebaiknya sudah dienyahkan. Istilah yang banyak dikerdilkan, yang sedikit ditonjolkan untuk dibenturkan adalah esensi penolakan gerakan tersebut. Sudah bukan zaman lagi menggunakan cara-cara mereka yang kuffur nikamt.
Cara gelap korporatokrasi (perpaduan kelompok kekuatan internal dan eksternal yang merong-rong orang jujur), tidak pada tempatnya. Sumber Qurani menyebutkan, "Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Pahamilah peringatan ini.
(iii). Dendam sejarah bersandar ideologis. Penolakan gerakan yang bermanfaat ini, tetapi seolah-olah mendapat penolakan karena perlakuan kekuasaan, tidak implisit tidak terlepas masih "menggeloranya dendam sejarah bersandar faktor ideologis." Ada yang kontradiksi memang.
Istilah yang berhubungan syariah ditolak dan dipojokan, tetapi mengapa istilah waqaf digerakkan, tentu menjadi kontra-ambigu. Tidak berupaya untuk buruk sangka, boleh jadi ini adalah efek nyata dari perlakuan rejim terhadap pengdiskriditkan konsep-konsep yang berbau syariat oleh kekuasaan. Pembelahan yang ambigu justru merugikan kedua belah pihak.
Belajar dari ketiga respon buruk (buruk sangka, su'udzan) terhadap gerakan nasional waqaf, tidak akan menjadikan potensi kekuatan umat yang besar terpecah-belah terus-menerus. Esensinya, buruk sangka dilawan dengan buruk sangka: semoga menjadi berbaik sangka. Pengakuan respon buruk sangka terhadap kekeliruan yang dilakukan adalah penyadaran sebagai proses akhir [ending] yang merupakan sebuah upaya dalam bertaubah kolektif.
Oleh karenanya harapan Indonesia beserta bangsanya yang mendiami negara yang disebut dengan istilah "negeri peninggalan para wali" ini menjadi aman, tenteram dan bersyukur dimulai dengan bertaubah. Berwudhu adalah perwujudan sekaligus simboliasi sebagai jalan alternatif menunda dan menghentikan kemurkaan Allah SWT sebagai bangsa yang "kufur nikmat".
Semoga dengan berwudhu-taubah, gejolak Semeru, Merapi, Galunggung beserta goncangan lainnya akan mereda, ditunda atau tiada.
Wallahualam.***
Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.