BELAKANGAN ini, tema Corona menjadi booming, tidak hanya di 'Negeri Tol Langit' ini, dunia pun tak lepas dari cengkramannya. Wajar banyak kalangan, terkhusus para ustadz pengkaji akhir zaman, turut mengulas-bebas hubungan Corona dan akhir zaman (tanda-tanda kiamat). Tak luput pula, esai (tulisan) ini dirancang sejalan bersandarkan tema akhir zaman (esai-esai akhir zaman).
Hemat penulis, tak jauh beda meresponya antara ‘kabut azab, eh asap' dan Corona. Musibah atau azab, sangat tergantung yang menafsirkan, bak setali mata-uang (yang simultan, integral tak dapat dipisah), perihal cara mendekatinya.
Ikhwal asap sebagai azab misalnya, solusinya dimaknai pada dua hal yang sulit dipisahkan: antara hasil kerja pengetahuan, dan keterkaitan dengan agama. Proses hujan yang turun: bagaimna cara membedakan antara kerja pengetahuan (science), sebaran garam via pesawat dengan dana miliaran, atau produk doa setelah salat minta hujan (istisqa).
Begitupun, Corona. Persamaan kausalitas-transenden (hubungan ke langit-an) ini membuat saya berkeyakinan, sama-sama terjadi kesulitan dalam konteks memaknainya. Lalu apa beda Corona dan asap, tidak ada kecuali, sama-sama sebagai azab? Sederhana saja, terletak pada cara proses menunggu maut (setiap yang bernyawa pasti akan mati).
Bukankah belum ada ratusaan ribu orang terpapar ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) yang mati sebagai 'azab kabut asap' (jerebu). Sederhananya, perbedaannya tampak prihal soal menuju mati (maut). Dalam konteks ini, apa beda Corona dengan berbagai bom: kimia, biologi dan nuklir? Dari sinilah tampak ketidakjujuran kita sebagai manusia.
Mereka yang duduk di Barat (US, Eropa, termasuk Rusia), negara G20, mengklaim maju, berpengatahuan, demokratis, pelopor HAM dan pluralisme, anti diskriminasi, walapun tak ada kesungguhan pembelaan terhadap Pelestina, Rohingnya, Uighur, yang tanpa Corona, siap meregang nyawa (mati). Apa bedanya mati ter-Corona dengan dibom oleh senjata produk Negara G20 nan maju dan berpengetahuan?
Hemat saya, belajar dari asap untuk Indonesia, dan Corona untuk dunia, usulan saya, seharusnya ulama dunia (asosiasi tokoh agama lintas dunia bersepakat), berfatwa jika senjata pemusnah masal: berbagai bom 'haram hukumnya', atau menjadi 'manusia terlaknat'. Tentu keharammanya, dari yang melakukan uji-coba, pengide, memproduksi, sehingga yang menjual dan membeli.
Sepintas, agak muskil juga fatwa ini. Istimewa, bagi mereka yang tak beragama (para manusia yang meniadakan keberadaan tuhan sebagai pencipta], tentu sangat menguntungkan.
Mereka yang Ateis (komunis), pastilah terlepas 'fatwa ulama dunia'. Jadi apa solusinya? Sama dengan hak veto di PBB: tepuk dada tanya selera.*
Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.
Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***