BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun sebagai tersangka suap dan gratiikasi proyek reklamasi di wilayah pesisir Tanjung Piayu, Kecamatan Seibeduk, Kota Batam
Dalam mendukung izin prinsip reklamasi lokasi pemanfaatan laut tersebut, Nurdin Basirun --yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK bersama Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Edy Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Budi Hartono serta Abu Bakar (swasta) pada Rabu (10/7/2019) malam, mengajukan pengesahan Perda RZW3K untuk dibahas di DPRD Kepri.
"Pemerintah Provinsi Kepri mengajukan pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZW3K) Provinsi Kepri untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Keberadaan Perda ini akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan pengelolaan wilayah kelautan Kepri," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/7/2019) malam.
Menurut Basaria, saat itu terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodasi dalam RZW3K Kepulauan Riau. Salah satunya pihak swasta bernama Abu Bakar.
Pada Mei 2019, Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Kota Batam, untuk pembangunan resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektar.
"Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung," kata Basaria.
Pada saat itu, Nurdin selaku Gubernur Kepri memerintahkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Edy Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Budi Hartono membantu Abu Bakar agar izin yang diajukan disetujui.
"Untuk mengakali hal tersebut, BUH (Budi) memberitahu ABK (Abu Bakar) supaya izinnya disetujui, maka ia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya," kata Basaria.
Setelah itu, Budi memerintahkan Edy untuk melengkapi dokumen dan data pendukung agar izin Abu Bakar segera disetujui. Dokumen dan data pendukung yang dibuat Edy ternyata tidak berdasarkan analisis apa pun. Edy hanya sebatas meniru dari daerah lain agar persyaratannya cepat selesai.
"NBA diduga menerima uang dari ABK baik secara langsung maupun melalui EDS dalam beberapa kali kesempatan," kata Basaria.
Rinciannya, pada 30 Mei 2019, Abu Bakar memberikan uang 5.000 dollar Singapura dan Rp 45 juta kepada Nurdin. Akhirnya, tanggal 31 Mei 2019 izin prinsip proyek reklamasi untuk kepentingan Abu Bakar diterbitkan dengan luas area 10,2 hektar.
"Pada tanggal 10 Juli 2019, ABK memberikan tambahan uang sebesar 6.000 dollar Singapura kepada NBA melalui BUH," kata Basaria. Di luar penerimaan suap, KPK menduga Nurdin menerima gratifikasi terkait jabatannya. Sebab, KPK menemukan berbagai mata uang asing di rumah dinas Nurdin.
Basaria mengatakan, KPK masih mendalami lebih lanjut dugaan penerimaan gratifikasi yang diterima Nurdin. Nurdin disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sementara Edy dan Budi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Kemudian Abu Bakar disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Editor: Surya