Oleh Ahmad Hafiz. SH.,C.CLA
KEWENANGAN Mahkamah Konstitusi Republik indonesia (MK RI) sebagai Penafsir Konstitusi. MK RI memiliki kewenangan untuk menafsirkan konstitusi dan memutus apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK bersifat final dan binding.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI meminta pandangan para ahli diantaranya mantan ketua MK RI. Patrialis Akbar yang menyatakan "Kita bisa memberikan ukuran putusan MK sesuai konstitusi atau tidak, ...tidak ada suatu kewajiban melaksanakan suatu putusan yang tidak sesuai konstitusi, tetapi pada prinsipnya Putusan MK final."
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Nomor 135/PUU-XXII/2025 memiliki dampak signifikan terhadap Hukum Administrasi Negara (HAN), terutama terkait dengan penyelenggaraan pemilu dan kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan.
Isi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025 menyatakan pemisahan Pemilu Nasional (pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR/DPD) dan Pemilu Daerah (pemilihan kepala daerah, anggota DPRD). Pemilu lokal atau daerah akan diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Debat mengenai apakah Putusan MK RI Nomor 135/PUU-XXII/2025 melanggar Konstitusi, khususnya Pasal 22E sedang ramai diperbincangkan.
Pasal 22E UUD 1945 menyatakan:
Pasal 22E ayat (1): "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali."
Pasal 22E ayat (2): "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025 yang memisahkan Pemilu Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (Kepala Daerah, DPRD) dengan jeda waktu tertentu (paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun) memicu perdebatan sengit terkait interpretasi makna atas norma "...setiap lima tahun sekali"
Argumen yang menyatakan putusan ini berpotensi melanggar Konstitusi (khususnya Pasal 22E):
A. Interpretasi Harfiah. "Setiap Lima Tahun Sekali"
Putusan ini melanggar konstitusi berargumen bahwa Pasal 22E ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa pemilihan umum secara keseluruhan (yang mencakup semua jenis pemilu yang disebutkan dalam ayat 2) harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan memisahkannya, secara de facto, ada jenis pemilu yang tidak lagi terjadi setiap lima tahun dari pemilu sebelumnya, melainkan dengan siklus yang berbeda.
B. Potensi "Constitutional Deadlock"
Saya menilai dan ada beberapa pihak, termasuk Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dan Ketua K3 MPR Taufik Basari, khawatir bahwa jika putusan MK ini dilaksanakan, akan terjadi pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri.
Misalnya, jika masa jabatan DPRD tidak bisa atau diperpanjang atau dikosongkan selama jeda 2 (dua) tahun tersebut, hal itu akan melanggar Pasal 18 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang mengharuskan pemerintah daerah memiliki DPRD yang dipilih melalui pemilu.
Melalui putusan ini bahwa MK telah mengambil peran sebagai "positive legislator" (membuat norma baru) daripada "negative legislator" (membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD).
C. Pencurian Kedaulatan Rakyat.
Bahwa pemisahan ini berpotensi mengurangi atau menghilangkan kedaulatan rakyat karena jeda waktu tersebut dapat menimbulkan kekosongan representasi atau masa transisi yang tidak jelas bagi lembaga-lembaga yang dipilih.
D. Inkonsistensi Putusan MK RI.
Bahwa melihat pada beberapa putusan MK RI terkait Pemilu dan beberapa point pertimbangan MK RI dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2025 pernah dijadikan dalil dalam Judicial review Keserentakan Pemilu dengan Pemohon Partai Gelora Indonesia, diantaranya: 1. Beban Kerja Penyelenggara Pemilu, 2. Hilangnya fokus Pemilih, 3. Pelemahan peran Partai Politik, dan. 4. Isu Pilpres dengan isu kedaerahan.
Namun. MK RI menolak judicial review tersebut dengan mengatakan dalam pertimbangannya, diantaranya: Tidak ada sesuatu yang mendesak sehingga sistem pemilu perlu tidak diubah dan pelaksanaan Pemilu masalah teknis penyelenggara.
Bahwa menurut DR. Jamaludin Ghofur. SH., M.H dalam diskusi dengan saya, dikatakan: "Semua dikembalikan kepada DPR dan Pemerintah mau ditindak lanjutin atau tidak keputusan MK tersebut dengan konsekuensi hukumnya, dan kedepannya MK RI perlu diberi rambu-rambu agar lembaga ini tidak menjadi simbol otoritarianisme baru."
Berikut adalah dampak putusan ini terhadap Hukum Administrasi Negara:
1. Perubahan Tata Kelola Pemilu dan Lembaga Penyelenggara Pemilu;
2. Perubahan Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah;
3. Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
4. Implikasi terhadap Prinsip Umum Penyelenggaraan Pemerintahan dalam hal Kepastian Hukum dan Efektivitas serta Efisiensi.
Secara keseluruhan, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025 mengharuskan adanya penyesuaian dan reformasi signifikan dalam aspek-aspek Hukum Administrasi Negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan tata kelola pemerintahan,khususnya pada tingkat daerah. Namun menimbulkan Polemik Hukum baru atas Putusan a quo.
Penulis adalah Managing Director Ahmad Hafiz & Partners, Direktur LBH Gelora Indonesia, Sekjen Konstitusional Properti Indonesia, Waka Badan Advokasi Bantuan Hukum DPP Gelora Indonesia