BATAMTODAY.COM, Batam - Aziz Martua Siregar menunduk. Tangannya berulang kali mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Batam, Kamis (5/6/2025) siang.
Pria bertubuh gempal itu menerima vonis 13 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar subsider lima bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah karena membeli sabu dari jaringan internal Kepolisian Resor Kota Barelang jaringan yang belakangan ia bantu bongkar sendiri.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 13 tahun kepada terdakwa Aziz Martua Siregar," kata Ketua Majelis Hakim Tiwik membacakan amar putusan, didampingi dua hakim anggota, Douglas Napitupulu dan Andi Bayu.
Vonis terhadap Aziz dijatuhkan berdasarkan Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam perkara yang menyeret pula Zulkifli Simanjuntak sebagai terdakwa lain, hakim menilai keduanya terbukti terlibat dalam permufakatan jahat narkotika dengan jumlah melebihi 5 gram.
Aziz memang tidak sekadar terdakwa. Dalam proses sidang sebelumnya, ia justru menjadi pintu masuk bagi terbongkarnya keterlibatan 10 anggota Satuan Reserse Narkoba Polresta Barelang dalam penjualan kembali barang bukti sabu hasil tangkapan. Enam nama ia sebut terang-terangan dalam kesaksiannya yakni Sigit Sarwo Edi, Fadilah, Wan Rahmat Kurniawan, Ibnu Ma'ruf Rambe, Junaedi Gunawan, dan Rahmadi.
Majelis hakim pun mempertimbangkan kooperatifnya Aziz sebagai hal yang meringankan vonis. "Terdakwa telah membantu aparat hukum mengungkap jaringan di internal Satresnarkoba," ujar Tiwik.
Keterangan Aziz di ruang sidang sempat membuat suasana memanas. Di hadapan majelis hakim dan jaksa, ia mengungkap keterlibatan keponakannya, Rian dalam transaksi sabu dengan anggota Satresnarkoba. Ia menyebut sabu seberat 1 kilogram dijual oleh oknum polisi ke kawasan Simpang Dam, Batam.
"Memang ada anggota yang menjual sabu ke Simpang Dam. Tapi bukan ke saya. Keponakan saya, Rian yang membelinya," kata Aziz lantang.
Hakim Tiwik langsung menajamkan pertanyaan. "Coba kau terangkan awal mula kasus ini. Apa perananmu?," tanya dia.
Aziz kemudian membeberkan runtutan cerita. Segalanya bermula ketika seorang pria bernama Aidil, yang ia sebut sebagai informan Satresnarkoba, datang menemuinya. Aidil menyampaikan bahwa Rian tengah dicari polisi karena urusan sabu.
Aziz lalu mendatangi Rian dan menginterogasinya. Rian mengakui telah menerima sabu seberat satu kilogram dan menyisakan 4 ons yang belum terjual. "Saya bilang ke Aidil, saya yang akan bayar kalau Rian tidak bisa. Saya perkirakan nilainya Rp 400 juta," kata Aziz.
Tak lama kemudian, Aziz mendapat telepon ancaman. Rumahnya didatangi empat anggota polisi. Merasa terdesak, ia meminta uang kepada istrinya dan menguras tabungan. Uang Rp 50 juta ia foto dan kirimkan ke seseorang yang belakangan diyakininya adalah Ipda Fadilah.
"Saya yakin, suara yang menelpon saya itu Fadilah. Saya pastikan dengan keyakinan saya," ujarnya menanggapi pertanyaan hakim.
Jaksa Penuntut Umum sempat mencoba menunjukkan tangkapan layar percakapan WhatsApp antara Aziz dan Fadilah, namun Aziz tak membantah. "Percakapan itu benar semua. Bahkan soal saya gadaikan sertifikat rumah juga benar," katanya lirih.
Dalam kesaksiannya, Aziz menyebut anggota Satresnarkoba juga kerap meminta uang "bensin". Salah satunya, Junaedi Gunawan. Beberapa kali, kata dia, mereka menghubunginya untuk meminta tambahan dana.
Dari keterangan Aziz inilah, sidang terhadap 10 anggota Satresnarkoba Polresta Barelang yang terlibat dalam skandal jual-beli barang bukti narkotika menjadi terang.
Mereka sebelumnya menangkap sabu seberat 50 kilogram, tapi hanya 35 kilogram yang dilaporkan resmi ke penyidik. Sembilan kilogram lainnya diduga dijual ke pasar gelap. Barang bukti yang hilang itu belakangan ditemukan sebagian di wilayah Tembilahan, Riau.
Aziz, dalam kesaksiannya, juga mengaku pernah mengejar Rian sampai ke Sidempuan, kampung halaman mereka. Di sana, setelah menginterogasi secara kasar, Rian mengakui bahwa sebagian uang hasil penjualan sabu telah diserahkan ke Aidil. Saat Aziz menunggu di kamar untuk mengambil sisa sabu, Rian kabur melompat dari jendela.
"Saya videokan pertemuan itu dan saya kirim ke Aidil dan Ipda Fadilah," ujar Aziz.
Di penghujung sidang, Aziz tampak menyesal. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ia bukan hanya pelaku, tapi juga saksi kunci atas sebuah konspirasi besar: oknum penegak hukum yang menjual barang bukti kepada pasar gelap, merusak kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menegakkan hukum.
Majelis hakim menutup sidang dengan catatan bahwa peran Aziz dalam membongkar kejahatan aparat merupakan pertimbangan signifikan. Namun, keterlibatannya dalam jaringan peredaran narkotika tetap tak bisa dimaafkan.
Aziz berdiri. Ia menunduk dalam. Dan berjalan pelan meninggalkan ruang sidang, menuju ruang tahanan, tempat ia akan memulai vonis panjangnya: 13 tahun.
Editor: Yudha