logo batamtoday
Jum'at, 19 April 2024
JNE EXPRESS


Jangan Sampai Terjadi di Kepri!
Selasa, 25-11-2014 | 10:43 WIB | Penulis: Saibansah Dardani
 
(Foto: kompasiana)  

Karena alasan perut yang tak terurus oleh negara, salahkah jika masyarakat di perbatasan ingin memilih ganti bendera? Mereka sudah bosan dengan Merah Putih yang menelantarkan mereka.

SEBUAH kabar menyentak. Masyarakat 13 desa di kawasan perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) memilih ingin bergabung dengan Malaysia. Alasannya, karena negara telah lalai mengurus desa mereka.

Infrastruktur tak disentuh sama sekali, membuat mereka hidup dalam kemiskinan. Tak ada akses komunikasi yang memadai, tak ada pelayanan kesehatan yang layak serta upaya untuk memperbaiki kehidupan mereka. Sementara, masyarakat yang tinggal hanya seperlemparan batu, hidup sejahtera. Hanya karena beda bendera yang berkibar di depan rumah. 

Ke-10 desa  di Kaltim yang ingin bergabung dengan Malaysia itu adalah Desa Long Pananeh I, Desa Long Pananeh II, Desa Long Pananeh III, Desa Tiong Ohang, Tiong, Desa Noha, Desa Tifab, Desa Long Apari, Desa Long Kerioq, Desa Noha dan Desa Noha Silat. Dan 3 desa di Kaltara yang juga ingin bergabung dengan Malaysia itu adalah Desa Simantipal, Desa Sinapad, dan Desa Sinokod.

Warga 13 desa tertinggal itu tergiur dengan kesejahteraan hidup tetangganya itulah, warga 13 desa tersebut tak kuat lagi memendam hasrat untuk segera bisa menurunkan Merah Putih dan menggantinya dengan bendera bulan dan matahari bergaris merah putih. Seolah, bendera Malaysia itu adalah sebuah impian meraih kesejahteraan hidup. Karena terbukti, sudah puluhan tahun, bendera Merah Putih tak peduli akan nasib mereka. 

Apalagi, setelah melihat negara lalai mengurus rakyatnya di perbatasan itu, pihak Malaysia kerap mengiming-imgingi mereka untuk pindah warga negara. Mereka akan diberi kehidupan yang layak. Diberi lahan, disediakan rumah dan dibukakan akses jalan darat serta kabel komunikasi. Sikap Malaysia itu wajar, sebagai tetangga yang memiliki ras dan bahasa yang sama. Apakah tidak boleh menolong tetangga yang hidup serba kekurangan?

Inilah bukti kegagalan pembangunan negara ini. Tidak perlu malu mengakui. Sudah kuno menutup-nutupi sebuah fakta. Lalu, membiarkan masalah hilang dengan sendirinya. Bukan memperbaikinya dengan kerja-kerja nyata, tapi sekadar hanya acara seremonial semata. Terbukti, selama ini negara hanya sibuk dengan urusan-urusan "antah berantah" yang buktinya tidak menyentuh akar masalah kemiskinan masyarakat perbatasan. Jika masalah ini dibiarkan terus menerus, salahkah jika mereka mencari kesejahteraan hidup dengan cara mereka sendiri?

Jangan sampai negara dianalogikan sebagai orang yang memelihara kucing yang diikat lehernya, tapi tidak diberi makan. Sosok inilah yang pernah divonis Nabi Muhammad sebagai calon penghuni neraka tingkat dasar. 

13 desa di Kaltim dan Kaltara hanya sedikit kasus yang terpantau. Tak ada yang bisa menjamin kasus ini tidak terjadi di kawasan perbatasan lain di Indonesia. Termasuk di Provinsi Kepri. Jika pemerintah masih sibuk dengan masalah "antah berantah" yang tak menyentuh nasib masyarakat perbatasan, jangan salahkan jika mereka mencari kebahagiaan hidup dengan cara mereka sendiri. Jangan hadapi mereka dengan moncong senjata. Ini bukan berarti penulis memprovokasi separatisme. Tapi penulis ingin memprovokasi negara untuk segera berhenti "sibuk sendiri" dan segara urusi mereka. Urus segera kesejahteraan masyarakat perbatasan. Jangan sampai kasus 13 desa tersebut terjadi di Kepri!

Saibansah Dardani, Redaktur Senior BATAMTODAY.COM dan Sekretaris PWI Kepri

Ucapan Idul Fitri

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit