logo batamtoday
Jum'at, 29 Maret 2024
JNE EXPRESS


Sediakan Ruang Dialog untuk Redakan Polarisasi Politis
Selasa, 14-05-2019 | 19:28 WIB | Penulis: Redaksi
 
Ilustrasi dialog. (Foto; Ist)  

Oleh Anindya Lazuardi

PARA elit politik yang berseberangan pada penyelenggaraan pemilu 2019 sudah sepatutnya perlu segera membuka diri untuk berdialog agar polarisasi politis di masyarakat berangsur reda. Pembelahan politik itu tak hanya merugikan pihak-pihak yang berkontestasi, tetapi juga masyarakat yang tidak ikut serta dalam persaingan politik praktis. Dialog tersebut mendesak dilakukan. Elite politik mesti memberikan keteladanan kepada masyarakat.

Kebuntuan akibat perbedaan pandangan politik dapat ditembus dengan pertemuan antara para tokoh yang memiliki pilihan berseberangan pada pemilu 2019. Kita masih memiliki ruang, peluang dan sumber daya politik serta nilai-nilai dan semangat musyawarah. Alangkah baiknya, hal tersebut tidaklah disia – siakan agar masa sulit ini segera dapat dilalui dengan baik.

Pertemuan antarkoalisi politik tentu harus menjadi kesadaran bersama untuk mencairkan kebekuan. Kesadaran itu sebenarnya sudah terbangun di akar rumput. Di Jember dan Madiun, misalnya, pihak yang kalah dalam rekapitulasi perhitungan suara dapat menerima dengan lapang dada sehingga tidak ada persoalan yang berlarut-larut.

Penggagas tagar #2019GantiPresiden, Mardani Ali Sera sudah tidak ingin lagi mendengungkan ganti Presiden, karena dirinya menyadari bahwa masa kampanye telah usai. Politikus PKS tersebut mengatakan bahwa #2019GantiPresiden telah tutup buku setelah pelaksanaan Pemilu 2019 berakhir.

“Per 13 April saya sudah mengharamkan diri tidak boleh teriak lagi ganti presiden. Sudah selesai. Kenapa? Karena itu sudah hari terakhir kampanye. Kalau sekarang apalagi. Sudah selesai kompetisinya. Kita kembali normal. Ganti Presiden sudah tutup buku,” tutur Mardani.

Justru, dirinya ingin mengajak kedua kubu paslon baik TKN maupun BPN untuk bisa bertemu pasca pilpres 2019 agar tercipta suasana bangsa yang kondusif. Dirinya kemudian mengungkapkan bahwa seluruh pihak agar dapat bersikap bijaksana apabila keputusan terkait siapa presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 sudah ditetapkan oleh KPU. Kemudian apabila ada yang tidak bisa menerima dengan hasil itu, ia juga mengatakan agar hal tersebut bisa disampaikan melalui mekanisme yang sudah ditetapkan.

“Siapapun yang terpilih nanti. Kalau itu memang sudah melalui proses yang bagus, komplain diselesaikan, itu suaranya rakyat dan saya harus menghormati,” tandasnya.

Jika dipandang perlu, dialog lintas kelompok dapat pula didorong dengan jasa, baik dari masyarakat sipil dan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, dan Perwakilan Umat Budha Indonesia. Ormas – ormas tersebut dapat menginisiasi atau mendorong pertemuan-pertemuan antar elit dan koalisi pendukung masing-masing demi kemaslahatan bangsa.

Ruang Dialog yang mempertemukan kedua kubu antara BPN dan TKN tentu diharapkan dapat menghilangkan dendam dan segala perbedaan pasca Pemilu 2019. Ruang dialog sangat diperlukan karena sebelum pelaksanaan Pemilu 17 April 2019, tensi politik setiap harinya makin panas, dimana berbagai isu digoreng, hoax semakin santer dihembuskan. Masyarakat pun banyak yang memilih untuk masuk ke dalam pusaran antara dua kubu itu. Namun, tidak sedikit pula yang lebih memilih diam dengan berbagai alasan pribadinya.

Bagi sebagian masyarakat yang telah masuk dalam pusaran politik tersebut, tidak sedikit dari mereka yang lantas berdebat dengan teman, saudara atau rekan kerjanya, hingga terkadang perdebatan tersebut melahirkan sekat keakraban.

Tingginya tensi politik juga marak di sosial media, selain tagar #2019gantipresiden, juga kerap muncul tagar yang mengajak pemantau asing untuk turut serta dalam memantau pemilu yang ada di Indonesia. Media sosial sudah menjadi seperti arena perang, dimana setiap status maupun kicauan yang tertulis, meluncur deras bak peluru dan lemparan bom yang memancing amarah para warganet, yang terkadang mereka tidak saling kenal, tapi sudah saling memaki hanya karena berbeda angka 01 dan 02.

Tentu kita masih ingat sebuah kalimat bijak yang pernah diucapkan almarhum Gus Dur, dimana yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Perkataan tersebut tentu sudah sepatutnya direnungkan bagi segenap orang yang terjebak dalam fanatisme politis.

Sudah sepatutnya para elit politik bertanggungjawab atas konflik panas dingin yang menyelimuti kehidupan warga Indonesia, yakni dengan upaya membuka ruang dialog antar kedua Kubu, agar rasa persatuan dapat kembali dieratkan, sekaligus memberikan keteladanan kepada masyarakat bahwa perbedaan bukan berarti memecah rasa persatuan.*

Penulis adalah Pegiat Media Sosial

KPU BATAM

KPU BATAM

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit