logo batamtoday
Kamis, 28 Maret 2024
JNE EXPRESS


Peran Milenial dalam Kontestasi Politik 2019
Kamis, 10-01-2019 | 12:28 WIB | Penulis: Redaksi
 
Ketua Umum Pengurus Daerah (PD) Kasiyanto, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Batam.  

Oleh Kasiyanto

Milenial sebagai sebuah penggolongan umur merujuk kategori usia muda. Penggunaan 'milenial' memang saat ini lebih umum dan menarik)dipakai ketimbang kata 'muda' itu sendiri. Menarik, melihat dinamika yang akan terjadi dalam kontestasi politik 2019 dan kaitannya dengan kelompok milenial ini.

Dalam kontestasi Pemilu 2019 ini, kelompok milenial menjadi topik perbincangan. Bahkan sebenarnya, pembahasan itu sudah dimulai sejak Pemilu 2014 lalu. Kelompok milenial dinilai membawa banyak hal baru dan berpotensi mengubah landscape perpolitikan di tanah air. Potensi suara dari milenial yang tak bisa dianggap kecil dan kenyataan bahwa mereka cendrung sulit dipengaruhi, adalah dua hal yang menempatkan milenial pada posisi yang strategis.

Di samping itu, ada kecenderungan yang hanya dimiliki oleh kelompok usia ini dan tak dimiliki oleh kelompok usia lainnya. Teknologi, dengan produk turunan berupa media sosial adalah medan nyata yang diisi oleh kelompok milenial ini. Banyak hal berkaitan dengan media berkembang dan saling mempengaruhi di ruang maya media sosial. Politik, juga adalah bagian yang tak terpisahkan dalam wadah besar media social.

Gejala dan fenomena politik dalam ruang media sosial ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lain, anak-anak muda memainkan peranan penting dalam perubahan-perubahan besar di dunia politik. Perubahan-perubahan itu dimulai, dikelola dan dikembangkan dari platform media sosial. Sebutlah beberapa contoh seperti Joshua Wong di Hongkong, sampai yang paling anyar, fenomena Ilhan Omar dan Alexandria Ocasio-Cortez di Amerika Serikat.

Milenial dalam banyak sekali kajian, dianggap sebagai kelompok yang kecendrungan politiknya terbuka, kolaboratif dan egaliter. Kelompok ini tidak lagi memilih atau menyampaikan aspirasi politiknya dengan basis pertimbangan gaya lama seperti lembaga partai, kesukuan, keterkaitan relijius dll. Milienial cendrung melihat gagasan apa yang dibawa oleh seseorang dalam perpolitikan, bukan dari mana ia berasal.

Selain itu, isu-isu seperti politik terbuka, kolaborasi, isu lingkungan, toleransi dll. menjadi gagasan yang diminati ketimbang tawaran-tawaran yang dianggap bergaya lama seperti anti korupsi, pembangunan, populisme dll. pada satu sisi, kenyataan ini menawarkan gaya berpolitik yang cukup menjanjikan, baru dan segar namun di sisi lain mengancam eksistensi politis dari lembaga dan gaya politik lama.

Di medan politik yang boleh dikatakan ganas dengan praktik politik kotor, kong-kalikong dan politik uang, milenial diharapkan membawa wacana kebaruan. Harapan itu tampak semakin terwujud dengan meningkatnya keterlibatan milenial dalam dunia politik. Walaupun kita perlu sama-sama menyadari pilihan yang dimiliki oleh milenial sangat terbatas.

Pilihan itu adalah membangun kendaran politik sendiri untuk bertarung dengan biaya politik (uang, waktu, branding) yang tak bisa dibilang kecil, atau ikut dalam kendaraan lama sambil meminimalisir pengaruh iklim politik di internal partai lama. Ditambah lagi, ikut dalam partai politik lama membutuhkan usaha untuk meyakinkan masyarakat pemilih bahwa ada gagasan baru yang coba ditawarkan dari partai politik lama yang sebenarnya sudah memiliki kesan di benak masyarakat.

Pilihan pertama menjanjikan kesempatan untuk melaju dengan cepat karena paling tidak dapat dianggap bersih dari anasir politik lama seperti label, dan beban sejarah. Pilihan kedua, memiliki nilai lebih berupa kemapanan dan basis pemilih loyal yang sulit digoyang dengan tawaran baru yang belum teruji.
Dalam hubungannya dengan praktik pemilu di Indonesia, paling tidak ada tiga peran konkrit yang bisa diambil oleh anak-anak muda dan tentu saja masuk akal untuk dijalankan. Tiga peran itu adalah partisipasi, edukasi dan pengawasan.

Peran politik yang paling krusial di samping dua peran lain adalah peran partisipasi. Politik dalam alam demokrasi diwujudkan dengan suara (vote). Pemilu dalam demokrasi adalah mekanisme yang disepakati menjadi ajang pertarungan untuk mewujudkan cita-cita politik. Dalam bahasa yang sederhana, Pemilu adalah gerbang menuju gelanggang besar perpolitikan tempat kesejahteraan diperjuangkan.

Penting kemudian untuk menjaga optimisme bahwa pemilu memberi peluang kebaikan yang harus dimasuki oleh milenial. Karena, jika optimisme itu berkurang, gelombang apatisme sudah menunggu tepat di depan gerbang itu untuk masuk dan membawa serta tujuan politik yang buruk dan brengsek.

Berdasarkan sebuah kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI, apatisme politik yang ditunjukkan dengan sikap golongan putih (golput) mengalami peningkatan sejak pemilu 1999. Berturut-turut jumlah masyarakat yang menolak menggunakan hak pilih dalam pemilu pada 1999 adalah (6,4 %), pemilu 2004 (15,4%), 2009 (29,1 %), dan pada 2014 berjumlah (24,89 %) dari total populasi pemilih. Maka, untuk mewujudkan peluang kebaikan dan kesejahteraan itu, ikut berpartisipasi dalam pemilu adalah sebuah keharusan, bagaimanapun kecilnya kemungkinan yang kita miliki.

Partisipasi tadi, dapat dibangun dengan salah satu usaha yaitu edukasi. Peran ini tak banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang bersinggungan dengan politik. Ada sebenarnya, namun boleh dikata dampaknya masih tergolong kecil, belum menyentuh lapisan-lapisan yang sulit dijangkau seperti masyarakat pelosok, pinggiran perkotaan dan kelompok muda apatis.

Partai politik, yang salah satu fungsinya adalah edukasi politik juga tampak berkubang dalam kontestasi elektoral semata. Masyarakat secara umum kemudian hanya memandang politik sebatas mencoblos di bilik suara, tidak lebih. Setelahnya, politik jadi medan yang luput dari peran aktif masyarakat. Padahal, jika politik dipahami dengan baik, ada rangkaian panjang yang bisa dilakukan dan diupayakan dan diawasi untuk menghadirkan kesejahteraan yang lebih besar.

Hal ini dapat dimulai dari mendidik masyarakat agar memiliki pemahaman politik yang baik. Bentuk pendidikan politik ini dapat berupa penyebaran informasi mengenai politik bersih, partisipasi politik dan tanggung jawab mengkritisi politikus atau partai yang kita pilih sebagai representasi kita dari hasil Pemilu.

Milenial dengan kedekatan yang sangat intens dengan media sosial berpeluang besar mengambil alih peran pendidikan politik itu. Media sosial dapat menjadi medium pendidikan yang menjanjikan karena keterbatasan ruang-waktu tidak lagi relevan dalam dunia maya. Media sosial juga menyediakan ruang diskursus yang terbuka dan egaliter, sehingga, jika penggunaannya baik dapat memberikan pemahaman dan penyadaran politik bagi pengguna (masyarakat) yang lebih luas.

Selain dua peran yang dibahas pada paragraf sebelumnya, peran lain yang dapat diambil oleh milenial adalah peran pengawasan. Ada dua jenis pengawasan yang dapat dilakukan, pertama pengawasan terhadap Pemilu sebagai salah satu proses dalam demokrasi dan yang kedua, pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan. Namun dalam tulisan ini, hanya akan dibahas pengawasan jenis yang pertama. Peran ini dapat dilakukan dengan mengambil peran langsung mengawasi pemungutan suara mulai dari tingkat paling bawah hingga rekapitulasi suara.

Hal ini penting mengingat potensi kecurangan mengintai proses demokrasi dari paling bawah hingga akhir dari pemilu. Milenial dapat berperan melalui kanal-kanal yang disediakan dan dapat dimasuki. Sebagai mahasiswa, kanal yang tersedia dan dimanfaatkan oleh organisasi mahasiswa (khususnya eksta kampus) adalah pemantau pemilu. Selebihnya anak-anak muda dapat terlibat dengan menjadi saksi di hari pencoblosan.

Harapan dengan masuk dan terlibatnya milenial ini adalah proses demokrasi yang lebih baik dan lebih bersih. Pada dasarnya, demokrasi adalah model tatanan masyarakat yang pengaturannya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan menjalankan tiga peran di atas, milenial telah melakukan usaha mewujudkan demokrasi dalam pengertian yang sebenar-benarnya itu.

Dengan semangat dan kecendrungan kesukarelawanan milenial, tiga peran tadi dapat dilakukan sebagai tanggung jawab moral milenial sebagai bentuk partisipasi politiknya, lebih jauh, sebagai masyarakat itu sendiri. (*)

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Daerah (PD) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Batam. Anggota di Kelas Literasi Apaan (KLA)

KPU BATAM

KPU BATAM

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit