logo batamtoday
Jum'at, 29 Maret 2024
JNE EXPRESS


Pemilu dan Problem Pemimpin Negarawan
Rabu, 21-02-2018 | 08:00 WIB | Penulis: Opini
 
Kombes Polisi Andry Wibowo. (Foto: Ist)  

Oleh Kombes Polisi Andry Wibowo

PASCA reformasi , Indonesia telah memilih jalan demokrasi sebagai suatu pendekatan politik dalam mengelola problem relasi kekuasaan dalam mengurus bangsa yang plural secara sosial dan kultural.

Sebagai sebuah pilihan demokrasi dianggap sebagai pilihan yang terbaik dibandingkan dengan berbagai model sistem politik yang ada (monarki, teologis , militerisme, otoritarian, komunisme).

Tidak dapat dipungkiri, jalan demokrasi yang dipilih ternyata terbebani oleh harapan besar bangsa Indonesia untuk menjadikan demokrasi sebagai alat politik demi mewujudkan cita cita nasional berbangsa yang bertujuan memajukan kepentingan umum.

Satu hal yang menjadi teramat penting tatkala demokrasi ini dijadikan pilihan adalah hadirnya kekuasaan rakyat sebagai pemegang mandat utama dalam bernegara. Rakyat menjadi pijakan dari kekuasaan struktural sistem negara dan pemerintahan, karena republik bermakna res publica (untuk kepentingan umum).

Dalam perjalanannya , sistem demokrasi pasca reformasi yang genap memasuki dua dekade ini masih meninggalkan beberapa problem klasik dan kekinian yang memerlukan koreksi dari kita bersama.

Pada beberapa daerah, demokrasi prosedural yang dipraktekan justru melahirkan problem oligarki, oligopoli pada relasi kekuasan politik dan ekonomi. Dinasti politik dan feodalisme dalam ranah politik yang terjadi justru menjadi problem baru kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun lokal.

Kepemimpinan nasional dan lokal mengalami problem orientasi dan berada di persimpangan jalan antara kepentingan umum dan kepentingan kelompok juga keluarga.

Dalam suatu masa, Plato sudah membicarakan problem ini. Saat itu demokrasi belumlah menjadi pilihan cara berpolitik. Gagasan Plato hadir jauh sebelum manusia memasuki era modern dan administrasi publik yang mengenal sistem birokrasi.

Plato menyatakan bahwa pemimpin dan kepemimpinan pada akhirnya menjadi problem dalam sistem demokrasi. Apalagi, ketika pemimpin dilahirkan dari proses politik transaksional, sudah hampir dipastikan, demokrasi prosedural yang berlangsung akan sulit melahirkan kepemimpinan dengam sikap sebagai negarawan.

Demokrasi dan teknologi oleh Plato dikritik sebagai sistem destruktif yang perlu diwaspadai dalam prakteknya. Demokrasi dan teknologi telah mendorong masyarakat menjadi individualis dan partikularistik.

Kompetensi sebagai syarat pokok kepemimpinan yang lahir dari produk pendidikan yang baik sering kali terabaikan karena problem kapital ekonomi dan kapital primordial yang menjadi faktor determinan dalam memilih pemimpin lokal maupun nasional.

Demokrasi tanpa orientasi ideologis kebangsaan yang kuat, yang cenderung memanfaatan teknologi yang massif akan melahirkan masyarakat dengan homogen yang sangat rapuh bagi bangsa dengan tatanan sosial dan kultural yang beragam seperti Indonesia.

Demokrasi membuka ruang dan kesempatan yang sama bagi siapapun warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin. Jika pada era politik tertutup kepemimpinan hanya boleh lahir dari lembaga-lembaga tertentu saja, di era demokrasi terbuka luas kesempatan bagi siapapun untuk menjadi pemimpin pemimpin lokal bahkan nasional.

Ambisi mengejar kekuasaan tanpa dibarengi dengan etika dan kompetensi melahirkan situasi banyak orang mengalami kegilaan atas kekuasaan. Kondisi yang demikian pada akhirnya mendorong proses pencapaian kepemimpinan melalui berbagai macam cara yang justru bertentangan dengan sistem demokrasi.

Perkawinan antara pemilik modal ekonomi-pemilik modal politik dan pemegang kekuasaan struktural dengan calon calon pemimpin nasional dan lokal melahirkan kepeminan lokal dan nasional yang jauh dari harapan kepemimpinan negarawan.

Kepemimpinan yang dilahirkan dari model seperti ini justru menciptakan kerawananan sosial dan masyarakat yang terbelah berdasarkan basis ekonomi, politik maupun ideologi. Karena pemimpin yang lahir dari proses perkawinan kepentingan pemilik modal ekonomi, pemilik modal politik dan pemegang kekuasaan struktural hanya akan melahirkan kepemimpinan partikulatistik yang memperjuangkan kelompok nya dibandingkan memperjuangkan cita cita umum sebagai satu bangsa.*

Penulis adalah Perwira Menengah di Bareskrim Mabes Polri

KPU BATAM

KPU BATAM

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit